Setelah Seminggu Sakit Pneumonia, Vatikan Ungkap Kondisi Paus Fransiskus!

Paus Fransiskus dikabarkan dalam kondisi stabil dan terus menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah menjalani perawatan selama sepekan di Rumah Sakit Gemelli, Roma. Pemimpin tertinggi umat Katolik dunia itu sebelumnya didiagnosis mengalami pneumonia ganda, yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis intensif.

Dalam laporan terbaru yang dikutip dari AFP, Vatikan menyebut bahwa kesehatan Paus semakin membaik. “Malam ini berjalan dengan baik, dan pagi ini Paus Fransiskus sudah bangun serta menikmati sarapannya,” demikian pernyataan resmi dari pihak Vatikan.

Paus Fransiskus awalnya dilarikan ke rumah sakit pada Jumat pekan lalu akibat bronkitis. Namun, kondisinya berkembang menjadi pneumonia yang menyerang kedua paru-parunya. Meski demikian, pihak Vatikan memastikan bahwa Paus yang kini berusia 88 tahun itu tidak mengalami demam, dan kondisi aliran darahnya tetap stabil.

Tetap Beraktivitas Meski Dirawat

Meskipun masih menjalani perawatan, Paus Fransiskus tetap melanjutkan beberapa aktivitasnya, termasuk korespondensi resmi. Kardinal Matteo Maria Zuppi, yang juga menjabat sebagai Ketua Konferensi Uskup Italia, mengungkapkan keyakinannya bahwa Paus berada dalam jalur pemulihan yang positif.

“Melihat beliau bisa sarapan, membaca koran, dan tetap menerima umat adalah tanda bahwa kondisinya terus membaik. Kami berharap pemulihan penuh dapat segera terjadi,” ujar Zuppi.

Sejumlah Agenda Dibatalkan

Dengan kondisi kesehatan Paus yang masih dalam pemantauan, Vatikan memutuskan untuk menunda sejumlah agenda penting yang telah dijadwalkan sebelumnya. Beberapa acara yang dibatalkan meliputi audiensi yang sedianya berlangsung pada Sabtu (22/2) serta misa pada Minggu (23/2) di Basilika Santo Petrus.

Riwayat Kesehatan Paus Fransiskus

Dalam beberapa tahun terakhir, Paus Fransiskus memang mengalami beberapa gangguan kesehatan, termasuk infeksi pernapasan. Ia diketahui memiliki riwayat kesehatan yang cukup rentan terhadap gangguan paru-paru. Saat masih muda, Paus pernah mengalami radang selaput dada yang mengharuskannya menjalani prosedur pengangkatan sebagian paru-parunya.

Meski demikian, kondisi terbaru Paus Fransiskus menunjukkan bahwa ia tengah berada dalam proses pemulihan yang baik. Umat Katolik di seluruh dunia pun terus mendoakan kesembuhan beliau agar dapat kembali menjalankan tugas kepemimpinannya seperti sedia kala.

Migran Ilegal India Dipulangkan, AS Perketat Aturan Imigrasi

Pada Sabtu (15/2/2025), sebanyak 119 migran asal India dideportasi dari Amerika Serikat dan tiba di Kota Amritsar, India Utara, sebagai bagian dari kebijakan tegas yang diterapkan oleh Pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, untuk menangani imigrasi ilegal. Deportasi kali ini menggunakan pesawat kargo militer C17 Globemaster III, yang membawa lebih dari seratus migran, sebagian besar berasal dari negara bagian Punjab dan Haryana. Gelombang deportasi ini mengundang berbagai reaksi, baik di AS maupun di India.

Mayoritas migran yang dideportasi adalah pria berusia antara 18 hingga 30 tahun. Namun, tak hanya kaum pria, ada juga empat perempuan dan dua anak di bawah umur yang turut dipulangkan. Pada hari Minggu (16/2/2025), menurut laporan The Independent, gelombang ketiga deportasi diperkirakan akan diberangkatkan, dengan lebih dari 150 migran lainnya dipulangkan ke India.

Pemerintah India menyatakan bahwa mereka telah menyiapkan langkah-langkah untuk memfasilitasi kepulangan para migran tersebut. Beberapa migran yang berasal dari Goa, Gujarat, dan Maharashtra dipulangkan dengan penerbangan pagi, sementara migran yang berasal dari Punjab dan Haryana akan melanjutkan perjalanan darat ke daerah asal mereka. Menteri Luar Negeri India, Vikram Misri, mengungkapkan bahwa sekitar 500 warga negara India tercatat dalam daftar deportasi akibat kebijakan keras pemerintahan Trump terhadap imigrasi ilegal. Banyak dari migran ilegal ini sebelumnya membayar penyelundup hingga puluhan ribu dolar AS untuk bisa memasuki AS atau negara-negara Barat, dengan sebagian dana tersebut diperoleh melalui cara-cara ekstrem, seperti menggadaikan tanah atau perhiasan.

Proses deportasi ini pertama kali dimulai pada awal bulan Februari, dengan penerbangan pertama yang membawa sejumlah migran ilegal India mendarat di Amritsar. Namun, pemulangan massal ini memicu reaksi politik yang cukup kuat di India. Partai-partai oposisi mengkritik Pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi karena dianggap bungkam mengenai cara-cara memalukan dalam pemulangan warganya. Pawan Khera, juru bicara Partai Kongres, mengungkapkan rasa kecewa dan sedihnya melihat foto-foto migran yang dideportasi dengan diborgol dan diperlakukan dengan tidak hormat. “Melihat foto-foto orang India yang diborgol dan dipermalukan saat dideportasi dari AS membuat saya sedih sebagai orang India,” ujar Khera.

Sindiran juga datang dari Kepala Menteri Punjab, Bhagwant Mann, yang berasal dari partai oposisi Aam Aadmi. Ia menyatakan, “Ketika Modi berjabat tangan dengan temannya Donald Trump, warga negara India dideportasi dengan rantai di pesawat militer. Ini adalah hadiah balasan Trump kepada Modi.” Kritik-kritik ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap cara pemerintah menangani pemulangan migran yang terkesan tidak berperasaan dan memalukan.

Meski mendapat kritik tajam, Pemerintah India tetap menegaskan komitmennya untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam menangani masalah imigrasi ilegal. Mereka siap menerima kembali warga negara yang dipulangkan, dengan syarat kewarganegaraan mereka dapat diverifikasi dengan benar. Juru bicara Kementerian Luar Negeri India, Randhir Jaiswal, menegaskan bahwa setiap warga India yang melanggar aturan imigrasi di negara manapun, termasuk AS, akan dipulangkan ke tanah air mereka. “Kami akan memfasilitasi pemulangan mereka ke India, dengan syarat kewarganegaraan mereka dapat diverifikasi,” kata Jaiswal.

Tindakan deportasi ini merupakan bagian dari kebijakan AS yang lebih luas untuk menanggulangi imigrasi ilegal, yang terus menjadi sorotan dalam konteks hubungan politik antara Amerika Serikat dan India. Kebijakan ini memicu perdebatan mengenai hak asasi manusia, perlakuan terhadap migran, dan hubungan bilateral yang semakin kompleks antara kedua negara. Dengan jumlah migran yang terus bertambah, proses deportasi ini berpotensi menjadi isu yang lebih besar di masa mendatang, mempengaruhi persepsi publik terhadap pemerintah India dan kebijakan imigrasi internasional.

Hadiah Menanti! Filipina Ajak Warga Berpartisipasi dalam Perang Melawan Nyamuk

Pemerintah setempat di Barangay Addition Hills, salah satu kawasan padat penduduk di Filipina, menerapkan langkah unik untuk mengatasi penyebaran demam berdarah. Mereka menawarkan hadiah uang tunai bagi warga yang berhasil menangkap nyamuk. Carlito Cernal, pemimpin wilayah tersebut, mengumumkan bahwa setiap lima nyamuk yang dikumpulkan akan dihargai satu peso (setara kurang dari 2 sen dolar AS).

Langkah ini diambil setelah dua siswa di wilayah tersebut meninggal akibat demam berdarah. Program ini dirancang untuk mendukung langkah pencegahan yang sudah berjalan, seperti membersihkan lingkungan dan mengurangi genangan air yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk pembawa virus dengue.

Hadiah ini berlaku untuk nyamuk dalam kondisi hidup maupun mati, termasuk larvanya. Khusus untuk nyamuk hidup, pihak berwenang akan memusnahkannya dengan sinar ultraviolet guna memastikan nyamuk tersebut tidak berkembang biak kembali.

Dukungan dan Kritikan Muncul

Melansir BBC, Departemen Kesehatan Filipina (DOH) mengapresiasi upaya pemerintah daerah dalam memerangi demam berdarah. Namun, mereka enggan berkomentar mengenai efektivitas program ini dalam menekan kasus infeksi. “Kami mendorong semua pihak untuk berkonsultasi dengan tenaga medis atau kantor regional DOH guna menerapkan langkah-langkah berbasis bukti yang terbukti efektif,” ujar perwakilan DOH.

Sementara itu, kebijakan ini memicu beragam tanggapan di media sosial. Banyak netizen yang meragukan efektivitasnya dan bahkan menjadikannya bahan candaan. Beberapa komentar menyindir bahwa warga mungkin akan “membudidayakan” nyamuk demi mendapatkan uang, sementara yang lain mempertanyakan apakah nyamuk dengan satu sayap masih memenuhi syarat untuk ditukarkan.

Menanggapi kritikan tersebut, Cernal menegaskan bahwa langkah ini dilakukan demi kesehatan masyarakat. Ia menambahkan bahwa wilayahnya merupakan salah satu area dengan kepadatan penduduk tinggi dan kasus demam berdarah yang meningkat, sehingga diperlukan langkah-langkah inovatif untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut.

Lonjakan Kasus Demam Berdarah di Filipina

Demam berdarah merupakan penyakit endemik di negara-negara beriklim tropis, termasuk Filipina. Penyakit ini sering merebak di kawasan perkotaan dengan sanitasi yang kurang baik, di mana nyamuk pembawa virus dapat berkembang biak dengan mudah. Pada kasus parah, demam berdarah dapat menyebabkan pendarahan internal yang berisiko fatal. Gejala yang umum dialami penderitanya meliputi sakit kepala, nyeri otot dan sendi, serta mual.

Barangay Addition Hills sendiri dihuni sekitar 70.000 jiwa yang tinggal di area seluas 162 hektar di Metro Manila. Dalam lonjakan kasus terbaru, otoritas kesehatan mencatat 44 kasus infeksi di wilayah tersebut.

Peningkatan kasus demam berdarah tidak hanya terjadi di Addition Hills, tetapi juga secara nasional. DOH melaporkan bahwa pada 1 Februari 2025, jumlah kasus demam berdarah telah mencapai 28.234, naik 40% dibandingkan tahun sebelumnya. Hujan musiman turut berkontribusi pada peningkatan jumlah kasus, karena menciptakan lebih banyak genangan air tempat nyamuk berkembang biak.

Sebagai langkah pencegahan, DOH mengimbau masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, menghilangkan tempat-tempat yang dapat menampung air seperti ban bekas, mengenakan pakaian berlengan panjang, dan menggunakan obat anti-nyamuk. Selain demam berdarah, hujan musiman juga menyebabkan lonjakan kasus penyakit lain seperti influenza dan leptospirosis—penyakit yang disebarkan oleh tikus melalui air banjir.

Dengan semakin meningkatnya kasus demam berdarah, langkah-langkah kreatif seperti ini bisa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Namun, efektivitasnya dalam jangka panjang masih menjadi pertanyaan. Bagaimana menurut Anda? Apakah program ini bisa benar-benar membantu mengurangi populasi nyamuk dan menekan penyebaran penyakit?

Tragedi di Munich: Mobil Hantam Kerumunan, Ibu dan Anak Tewas

Munich diguncang insiden tragis pada Sabtu (15/2/2025) ketika seorang ibu berusia 37 tahun dan anak perempuannya yang baru berusia dua tahun meninggal dunia akibat luka serius yang mereka derita. Keduanya menjadi korban dalam peristiwa mengerikan yang terjadi pada Kamis (13/2/2025), di mana sebuah mobil dengan sengaja menabrak kerumunan, menyebabkan total 37 orang mengalami luka-luka.

Juru bicara kepolisian Munich, Ludwig Waldinger, mengonfirmasi kabar duka tersebut. “Dengan sangat menyesal, kami harus mengumumkan bahwa anak berusia dua tahun dan ibunya yang berusia 37 tahun meninggal dunia akibat luka-luka mereka,” ujar Waldinger dalam pernyataannya kepada AFP.

Pelaku Diduga Bertindak Sengaja

Pelaku dalam insiden ini diidentifikasi sebagai seorang pria berusia 24 tahun berkewarganegaraan Afghanistan. Menurut laporan media Jerman, tersangka yang disebut bernama Farhad N. kini telah diamankan oleh pihak kepolisian. Berdasarkan informasi awal dari otoritas setempat, pria tersebut diduga memiliki motif tertentu dalam aksinya, meskipun detail lebih lanjut mengenai latar belakang dan tujuan serangan ini masih dalam penyelidikan.

Serangan ini terjadi di tengah aksi demonstrasi yang digelar oleh serikat pekerja. Pelaku diduga sengaja menerjunkan kendaraannya ke arah kelompok demonstran, mengakibatkan puluhan korban luka-luka dan ketegangan di kota tersebut semakin meningkat.

Dampak Politik dan Reaksi Publik

Insiden ini terjadi hanya beberapa hari sebelum pemilu Jerman yang dijadwalkan berlangsung pada 23 Februari 2025. Kejadian ini pun memicu perdebatan sengit mengenai kebijakan keamanan serta isu migrasi di negara tersebut. Beberapa kalangan menyoroti serangkaian insiden yang diduga melibatkan imigran dalam beberapa waktu terakhir, memperburuk sentimen publik terhadap kebijakan imigrasi yang diterapkan pemerintah.

Kanselir Jerman Olaf Scholz turut menyampaikan rasa dukanya atas kejadian ini. Melalui unggahan di platform media sosial X, ia mengungkapkan keterkejutannya atas tragedi yang merenggut nyawa seorang anak kecil dan ibunya.

“Saya sangat terkejut dan berduka atas meninggalnya seorang anak dan ibunya akibat luka-luka yang mereka derita setelah serangan di Munich,” tulis Scholz.

“Tak terbayangkan bagaimana perasaan keluarga korban. Saya menyampaikan belasungkawa terdalam untuk mereka. Negara ini berduka bersama mereka,” lanjutnya.

Penyelidikan Masih Berlangsung

Hingga saat ini, otoritas setempat masih melakukan investigasi guna mengungkap motif di balik aksi brutal ini. Pihak kepolisian terus mengumpulkan bukti serta memeriksa keterkaitan pelaku dengan kelompok tertentu yang mungkin memengaruhi tindakannya.

Peristiwa ini semakin meningkatkan kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan di ruang publik, terutama menjelang pemilu yang kian dekat. Apakah kejadian ini akan berdampak pada kebijakan politik Jerman ke depannya? Publik masih menunggu perkembangan lebih lanjut dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwenang.

Duka di RD Kongo! 80+ Warga Sipil Tewas Akibat Serangan Milisi

Situasi di Republik Demokratik (RD) Kongo kembali mencekam setelah serangan kejam yang dilakukan kelompok bersenjata CODECO di wilayah timur negara tersebut. Serangan yang terjadi pada Senin (10/2/2025) malam di Djugu, Provinsi Ituri, menyebabkan lebih dari 80 warga sipil tewas. Misi penjaga perdamaian PBB, MONUSCO, pada Kamis (13/2/2025) mengungkapkan jumlah korban yang jauh lebih tinggi dibandingkan laporan awal pemerintah setempat yang sebelumnya hanya memperkirakan 51 korban jiwa.

Menurut MONUSCO, pasukan penjaga perdamaian telah berusaha merespons serangan ini secepat mungkin. Namun, metode serangan yang digunakan kelompok militan ini menyulitkan pendeteksian dini. Berbeda dari serangan bersenjata api yang lebih mudah diidentifikasi, para pelaku menggunakan senjata tajam, sehingga mereka dapat bergerak dengan lebih leluasa tanpa menarik perhatian besar sebelum terlambat.

“Begitu pasukan kami tiba di lokasi, mereka mendapati lebih dari 80 warga sipil telah dibantai, rumah-rumah dibakar, dan kepanikan melanda penduduk setempat,” demikian pernyataan MONUSCO yang dikutip oleh Reuters.

CODECO dan Perebutan Sumber Daya

Kelompok CODECO dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak milisi yang beroperasi di wilayah timur RD Kongo. Kelompok ini sering kali terlibat dalam konflik bersenjata untuk memperebutkan lahan serta sumber daya alam yang kaya di kawasan tersebut. Mereka juga kerap menyerang kamp-kamp pengungsian yang jumlahnya terus bertambah akibat ketidakstabilan di wilayah itu.

Serangan ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan akibat pergerakan kelompok pemberontak lain, M23, yang diduga mendapat dukungan dari Rwanda. M23 baru-baru ini menguasai Goma, kota terbesar di Kongo timur, pada akhir Januari 2025.

Laporan PBB menyebutkan bahwa lebih dari 3.000 orang tewas hanya dalam beberapa hari sebelum Goma jatuh ke tangan pemberontak. Pejabat setempat memperingatkan bahwa jika M23 terus bergerak dari Provinsi Kivu Utara ke Kivu Selatan, dampaknya bisa menjadi bencana kemanusiaan yang lebih besar.

Sementara itu, situasi di RD Kongo semakin tidak menentu. Pemerintah setempat dan pasukan penjaga perdamaian PBB masih berupaya menstabilkan wilayah tersebut, tetapi serangan-serangan brutal seperti yang dilakukan CODECO menunjukkan betapa kompleksnya konflik yang melanda negara ini.

Pertemuan Pemimpin Arab Bahas Usulan Trump Terkait Jalur Gaza

Arab Saudi akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) darurat pada 20 Februari 2025, yang dihadiri para pemimpin negara-negara Arab. Pertemuan ini akan membahas usulan kontroversial Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang ingin mengambil alih Jalur Gaza.

Menurut laporan AFP, para pemimpin dari Mesir, Yordania, Qatar, dan Uni Emirat Arab dipastikan hadir dalam pertemuan tersebut. Setelah pertemuan di Arab Saudi, diskusi akan berlanjut dalam sidang Liga Arab di Kairo pada 27 Februari 2025, dengan agenda utama yang sama. Presiden Otoritas Palestina, Mahmud Abbas, juga dikabarkan akan turut serta dalam pembahasan ini.

Rencana Trump dan Kecaman dari Negara-Negara Arab

Usulan Trump untuk menguasai Jalur Gaza dan memindahkan lebih dari dua juta warga Palestina ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania telah memicu kecaman global. Rencana ini dinilai sebagai bentuk pengusiran paksa, yang mengingatkan warga Palestina pada peristiwa “Nakba”—pengusiran massal yang terjadi pada 1948 saat berdirinya Israel.

Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memberikan saran kontroversial bahwa Arab Saudi juga bisa dijadikan tempat penampungan bagi warga Palestina. Pernyataan ini langsung mendapat kritik tajam dari negara-negara Arab dan bahkan dianggap sebagai lelucon oleh beberapa media Israel.

Situasi ini menciptakan persatuan yang jarang terjadi di antara negara-negara Arab dalam menentang pengusiran massal rakyat Palestina. Negara-negara tersebut bersepakat untuk tidak menerima rencana pemindahan paksa, yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kedaulatan Palestina.

Ancaman Trump terhadap Sekutu Arab

Tak hanya mengusulkan rencana kontroversial, Trump juga dikabarkan mengancam akan memutus bantuan ekonomi bagi negara-negara yang menolak bekerja sama dengan skemanya. Yordania dan Mesir—yang selama ini menjadi sekutu penting AS di Timur Tengah—menjadi target utama ancaman tersebut.

Yordania sendiri saat ini menampung lebih dari dua juta pengungsi Palestina, yang bahkan mencapai lebih dari setengah populasi negaranya yang berjumlah sekitar 11 juta orang. Sementara itu, Mesir mengambil sikap berbeda dengan menawarkan solusi pembangunan kembali Gaza, sehingga rakyat Palestina bisa tetap tinggal di tanah mereka tanpa harus dipindahkan ke negara lain.

Dinamika Politik Timur Tengah di Tengah Konflik Gaza

KTT yang digelar Arab Saudi ini menjadi momentum penting dalam politik Timur Tengah, terutama dalam memperkuat posisi negara-negara Arab dalam menolak segala bentuk penggusuran warga Palestina. Dengan tekanan internasional yang semakin besar, pertemuan ini bisa menjadi langkah awal dalam menemukan solusi yang lebih berkeadilan bagi rakyat Palestina tanpa harus mengorbankan hak mereka atas tanah kelahirannya.

Seluruh dunia kini menanti hasil pertemuan tersebut. Akankah negara-negara Arab mampu membangun kesepakatan kuat untuk menghadapi tekanan AS dan Israel? Ataukah ada jalan tengah yang dapat ditempuh guna meredakan ketegangan di kawasan tersebut? Semua mata kini tertuju pada Riyadh dan Kairo.

Kehadiran Cuaca Dingin Ekstrem, Sekolah dan Kantor Pemerintah di Iran Ditutup

Pemerintah Iran mengambil langkah drastis untuk mengurangi konsumsi energi di tengah cuaca dingin ekstrem yang melanda negara tersebut. Pada Rabu (12/2/2025), sekolah-sekolah dan kantor pemerintah di ibu kota Teheran serta lebih dari 20 provinsi lainnya terpaksa diliburkan. Keputusan ini diambil untuk menghemat energi setelah suhu udara yang sangat rendah menyebabkan lonjakan penggunaan alat pemanas dan memperburuk kekurangan pasokan listrik.

Meskipun Iran dikenal memiliki cadangan minyak dan gas terbesar di dunia, negara ini menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energi domestiknya, terutama selama musim dingin. Seperti yang dilaporkan oleh AFP, pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik terbukti tidak cukup untuk menjaga aliran energi yang stabil. Ketika suhu turun drastis, permintaan untuk pemanasan rumah dan fasilitas lainnya melonjak, meningkatkan ketergantungan pada pasokan energi yang terbatas.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Iran mengumumkan penutupan kantor dan sekolah di lebih dari dua puluh provinsi, termasuk Alborz, Fars, Isfahan, dan Yazd. Langkah ini diambil setelah cuaca ekstrem menyebabkan salju lebat dan embun beku, yang memperburuk konsumsi energi. Di beberapa daerah, listrik juga dipadamkan sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi beban pada sistem kelistrikan.

Pada malam sebelumnya, beberapa wilayah di Teheran mengalami pemadaman listrik, dengan laporan dari televisi pemerintah yang mengungkapkan adanya masalah pasokan gas di beberapa pembangkit listrik. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan listrik negara, Tavanir, meminta agar konsumsi gas dan listrik dikurangi sebesar 10 persen.

Suhu yang sangat rendah juga memperburuk situasi. Di Hamadan, salah satu kota yang terletak di wilayah barat Iran, suhu udara turun hingga mencapai minus 19 derajat Celsius, menjadikannya sebagai wilayah terdingin di negara tersebut. Selain itu, ramalan cuaca juga memperkirakan hujan lebat, badai petir, dan angin kencang di banyak provinsi pada Rabu (12/2), dengan salju yang melapisi pegunungan di utara Iran, terutama di daerah Zagros.

Meskipun pemerintah seringkali menjadikan cuaca ekstrem sebagai alasan untuk penutupan massal dan pembatasan energi, kejadian ini juga menggambarkan ketergantungan Iran pada pasokan energi yang semakin rentan. Dengan cuaca yang terus membeku dan tantangan yang dihadapi oleh sektor energi, banyak yang berharap Iran dapat menemukan solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah ini tanpa mempengaruhi kehidupan warganya lebih jauh.

Musk Ungkap Alasan Tidak Berminat Akuisisi TikTok

Elon Musk, yang dikenal sebagai pemilik Tesla dan platform media sosial X (sebelumnya Twitter), baru-baru ini menyampaikan bahwa ia tidak tertarik untuk membeli TikTok, meskipun perusahaan tersebut tengah berada dalam sorotan hukum di Amerika Serikat. Dalam sebuah video yang dirilis pada akhir pekan lalu, Musk menegaskan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk mengakuisisi aplikasi berbasis video tersebut, yang saat ini menghadapi tekanan dari pemerintah AS terkait masalah keamanan nasional.

TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance, perusahaan asal China, tengah berada dalam perdebatan hukum di AS terkait masalah pengumpulan data pengguna yang dianggap berisiko bagi privasi warga negara. Pemerintah AS telah mengancam akan melarang operasional TikTok di negara itu, kecuali perusahaan tersebut dipisahkan dari pemilik asalnya. Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, hal ini sempat memicu kebijakan yang mengarah pada pembatasan TikTok, dengan keputusan untuk memaksa pemisahan atau larangan total terhadap aplikasi tersebut.

Meskipun TikTok terjebak dalam masalah hukum ini, Trump pernah mengusulkan Musk, yang juga merupakan salah satu pendukung keuangan kampanye presidennya, untuk membeli TikTok. Namun, Musk dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak tertarik untuk mengambil langkah tersebut. “Saya pribadi tidak menggunakan TikTok, jadi saya tidak begitu mengenalnya. Saya tidak tertarik untuk mengakuisisi TikTok,” jelas Musk, seperti yang dikutip dari kantor berita AFP pada Minggu (9/2/2025).

Sebelumnya, Musk membuat gebrakan besar dengan membeli Twitter seharga 44 miliar dolar AS pada 2022, yang kemudian berganti nama menjadi X. Keputusan tersebut diambil dengan alasan untuk melindungi kebebasan berbicara di platform. Namun, kebijakan baru yang diterapkan setelah pengambilalihan tersebut memicu kontroversi, dengan adanya lonjakan ujaran kebencian dan disinformasi di X, yang menjadi sorotan dari berbagai organisasi hak asasi manusia.

Di sisi lain, Musk juga turut berperan aktif dalam mendukung kebijakan fiskal Trump, termasuk pemotongan anggaran presiden AS. Dalam kesempatan yang sama, Musk mengkritik kebijakan Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI), yang menurutnya merupakan bentuk rasisme dengan nama baru. “DEI hanyalah rasisme yang diberi nama baru. Saya menentang rasisme dan seksisme, tidak peduli kepada siapa hal itu ditujukan,” tegas Musk dalam komentarnya di forum Jerman.

Di tengah ketegangan politik ini, pejabat AS kini sedang berusaha untuk menerapkan kebijakan yang mengurangi inisiatif-inisiatif DEI di seluruh birokrasi federal, yang mencakup penghentian pelatihan, pembatalan hibah, serta pengurangan jumlah pegawai dalam sektor-sektor terkait. Sebuah perubahan yang mungkin akan terus mempengaruhi dinamika politik dan sosial di AS.