Inul Daratista Tak Mudik, Adam Suseno Siap Wakili Berbagi THR

Pedangdut ternama Inul Daratista tahun ini memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya saat Hari Raya Idul Fitri. Keputusan tersebut diambil lantaran berbagai alasan, salah satunya adalah kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Meski begitu, tradisi keluarga dalam berbagi Tunjangan Hari Raya (THR) tetap dijalankan. Sang suami, Adam Suseno, akan mewakili Inul untuk mudik dan menyalurkan THR kepada warga sekitar kampung halaman mereka.

Inul menegaskan bahwa Adam akan memastikan THR diberikan kepada mereka yang biasa menerima setiap tahunnya, termasuk para tukang becak, anak yatim, serta masyarakat yang membutuhkan. Tradisi ini memang sudah lama dijalankan oleh keluarganya dan menjadi salah satu momen yang selalu dinantikan oleh warga sekitar. Meskipun tidak bisa hadir secara langsung, Inul memastikan bahwa semua persiapan telah dilakukan dengan matang, sehingga pembagian THR tetap berjalan lancar seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dalam sebuah wawancara di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Inul mengungkapkan bahwa alasan utama dirinya tidak mudik bukan hanya karena kesibukan, tetapi juga karena kondisi keluarganya yang tahun ini memiliki agenda masing-masing. Saudara-saudaranya tidak akan berada di kampung halaman, sehingga momen berkumpul pun sulit terwujud. Salah satu adiknya saat ini telah menetap di Amerika Serikat, sementara adik laki-lakinya sudah lebih dulu berangkat ke Kalimantan. Dengan kondisi seperti itu, Inul merasa tidak ada urgensi untuk pulang, sehingga ia memilih tetap berada di Jakarta selama perayaan Lebaran.

Meski harus melewatkan kebiasaan pulang kampung, Inul tetap berusaha menjaga esensi silaturahmi dengan berbagi kebahagiaan kepada sesama. Baginya, inti dari Lebaran bukan hanya berkumpul bersama keluarga, tetapi juga berbagi dan membantu mereka yang membutuhkan. Ia berharap bahwa meskipun dirinya tidak berada di kampung halaman, tradisi berbagi yang telah dijalankan selama bertahun-tahun tetap dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.

Adam Suseno yang akan mudik memastikan bahwa seluruh proses pembagian THR berjalan dengan baik dan lancar. Ia akan menjadi perwakilan keluarga untuk menjalankan tradisi tersebut, sekaligus memastikan bahwa mereka yang membutuhkan tetap mendapatkan bantuan sebagaimana mestinya. Dengan begitu, meski Inul tidak hadir secara langsung, semangat kebersamaan dan berbagi di hari raya tetap terasa.

Zelensky Menyatakan Pemilu Ukraina Tetap Tertunda Walau Ada Gencatan Senjata

Penasihat Presiden Ukraina, Mikhail Podoliak, menegaskan bahwa Ukraina akan terus mempertahankan status darurat militer dan tidak akan mengadakan pemilihan presiden, meskipun gencatan senjata dengan Rusia tercapai. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara dengan surat kabar Italia la Repubblica pada Jumat lalu, di mana ia menegaskan bahwa Ukraina akan tetap fokus pada keamanan dan stabilitas negara meskipun ada perubahan dalam dinamika konflik.

Darurat militer di Ukraina telah diberlakukan sejak Februari 2022, menyusul eskalasi konflik dengan Rusia. Masa jabatan Presiden Volodymyr Zelensky secara resmi akan berakhir pada Mei 2024. Namun, Zelensky menolak untuk menyelenggarakan pemilu dalam situasi darurat, memicu perdebatan mengenai keabsahan pemerintahan saat ini. Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra, dengan sebagian pihak menganggapnya sebagai langkah yang melanggar prinsip demokrasi, sementara yang lainnya mendukungnya demi keamanan negara.

Sementara itu, Amerika Serikat telah berusaha untuk memediasi perdamaian dalam konflik ini sejak masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Baru-baru ini, AS mengusulkan gencatan senjata sementara selama 30 hari sebagai bagian dari upaya mencapai kesepakatan damai. Ukraina sendiri menyatakan kesiapan untuk melaksanakan gencatan senjata tersebut, dengan syarat persetujuan dari pihak Rusia.

Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin memberikan tanggapan positif terhadap ide gencatan senjata, meskipun ia menyebutkan beberapa masalah yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa isu-isu tersebut kemungkinan akan dibahas lebih lanjut dengan Washington dalam pertemuan mendatang.

Podoliak menekankan bahwa meskipun gencatan senjata sementara bisa dilakukan, hal itu tidak berarti berakhirnya konflik. Menurutnya, Ukraina harus tetap mempertahankan kapasitas untuk bertempur sampai situasi benar-benar terkendali. Ia menambahkan bahwa gencatan senjata 30 hari tidak akan membuka jalan bagi pelaksanaan pemilu.

Pada bulan Januari, Putin sempat mengkritik keabsahan pemerintahan Zelensky, dengan menyatakan bahwa hal tersebut bisa membatalkan perjanjian apapun yang melibatkan pemerintahannya. Zelensky juga telah mengeluarkan undang-undang yang melarang negosiasi langsung dengan pimpinan Rusia, yang semakin memperburuk ketegangan di antara kedua negara.

Pemerintahan Trump, yang mulai membangun kembali kontak dengan Rusia, berusaha untuk mendorong Kiev mencari solusi atas permusuhan ini. Pada Februari lalu, Kremlin mengungkapkan kesiapan Putin untuk bernegosiasi dengan Zelensky, meskipun dengan catatan perlunya membahas masalah hukum terkait dengan legitimasi Zelensky sebagai kepala negara.

Ketegangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada usulan gencatan senjata, jalan menuju perdamaian masih terjal dan penuh dengan hambatan politik, hukum, dan militer. Konflik ini terus menjadi ujian besar bagi stabilitas kawasan serta hubungan internasional antara Rusia, Ukraina, dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

Trump Tegaskan Kebijakan Visa Baru untuk Negara Muslim, Kenapa?

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berencana untuk memberlakukan pembatasan perjalanan bagi warga negara dari sejumlah negara mayoritas Muslim. Pembatasan ini direncanakan akan mulai diberlakukan pada pekan depan, dengan pemberian kode “daftar merah” bagi negara-negara yang visanya tidak akan diterima di Amerika Serikat.

Menurut laporan pejabat yang terlibat, negara-negara yang akan terpengaruh oleh kebijakan ini sebagian besar adalah negara yang sebelumnya telah masuk dalam daftar pembatasan perjalanan. Beberapa negara yang akan masuk dalam kategori tersebut antara lain Iran, Suriah, Yaman, Sudan, Somalia, Venezuela, Kuba, dan Korea Utara.

Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan dari perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Presiden Trump pada 20 Januari lalu, yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan bagi warga AS dari ancaman terorisme asing dan masalah keamanan lainnya. “Perintah eksekutif ini bertujuan untuk melindungi warga AS dari individu yang berniat melakukan serangan teroris, mengancam keamanan nasional, atau mengeksploitasi undang-undang imigrasi untuk tujuan yang merugikan,” demikian pernyataan dalam draf tersebut, yang dilansir oleh USA Today.

Dalam perintah eksekutif tersebut, pihak berwenang AS diminta untuk melakukan peninjauan menyeluruh terhadap individu yang hendak memasuki AS dari negara-negara yang masuk dalam kategori daftar merah. Jika ditemukan potensi ancaman atau kegiatan yang mencurigakan, individu-individu tersebut bisa saja dideportasi.

Selain itu, Trump juga memerintahkan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap visa yang telah diterbitkan untuk pemegang paspor dari negara-negara yang dianggap memiliki sistem penyaringan keamanan yang lemah. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa individu yang datang ke AS tidak memiliki niat buruk terhadap warga atau pemerintah AS, serta tidak membawa ideologi kebencian atau sikap bermusuhan terhadap negara tersebut.

Sebagai bagian dari kebijakan ini, selain kode “daftar merah,” Trump juga menetapkan kode-kode lainnya yang akan digunakan untuk membedakan tingkat pembatasan yang diberlakukan terhadap negara-negara tertentu.

Langkah ini memicu perdebatan di dalam negeri dan internasional, dengan banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas dan dampak dari kebijakan tersebut terhadap hubungan AS dengan negara-negara terkait, serta potensi diskriminasi terhadap kelompok tertentu berdasarkan agama atau asal negara.

Eksekusi Mati Brad Sigmon: Pilihannya Jatuh pada Regu Tembak

Brad Sigmon, seorang narapidana berusia 67 tahun asal Carolina Selatan, Amerika Serikat, menjadi sorotan dunia setelah memilih untuk dieksekusi dengan regu tembak sebagai alternatif dari suntikan mematikan atau kursi listrik. Sigmon dihukum atas pembunuhan dua orang tua mantan pacarnya, David dan Gladys Larke, yang ia bunuh dengan tongkat bisbol pada tahun 2001. Eksekusi yang berlangsung pada Jumat, 7 Maret 2025, ini menandai eksekusi regu tembak pertama di Amerika Serikat dalam 15 tahun terakhir, sebuah keputusan yang memicu perdebatan terkait hukuman mati di negara tersebut.

Menurut laporan dari AFP pada Sabtu (8/3/2025), eksekusi dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Broad River di kota Columbia, ibu kota Carolina Selatan. Sigmon, yang mengenakan pakaian terusan hitam dengan tanda sasaran merah di dada, diikat di kursi eksekusi saat regu tembak, yang terdiri dari tiga orang, melepaskan tembakan bersamaan pada pukul 18.05 waktu setempat. Tembakan tersebut menewaskan Sigmon dalam waktu singkat, dan ia dinyatakan meninggal dunia oleh seorang dokter pada pukul 18.08.

Saksi Mata Melaporkan Kejadian Mengerikan

Sejumlah wartawan menyaksikan eksekusi tersebut dari balik kaca pelindung, termasuk reporter Anna Dobbins dari stasiun TV WYFF News 4. Dobbins melaporkan bahwa setelah tembakan dilepaskan, Sigmon tampak tegang, dan darah terlihat muncrat saat peluru menembus tubuhnya. Kejadian tersebut berlangsung sangat cepat dan menciptakan suara seperti satu tembakan besar, sebuah pengalaman yang menimbulkan kesan mengerikan bagi yang menyaksikannya.

Pada pernyataan terakhirnya, yang dibacakan oleh pengacaranya Gerald “Bo” King, Sigmon menyampaikan pesan penuh kasih dan meminta agar hukuman mati dihentikan. Dalam pernyataan tersebut, Sigmon menegaskan pentingnya mengakhiri praktik hukuman mati yang menurutnya terlalu kejam.

Perdebatan Tentang Hukuman Mati dan Metode Eksekusi

Eksekusi regu tembak ini menambah sorotan terhadap penggunaan hukuman mati di Amerika Serikat, yang telah menjadi perdebatan panjang. Setelah Mahkamah Agung mengizinkan kembalinya hukuman mati pada tahun 1976, sebagian besar eksekusi di AS dilakukan dengan menggunakan suntikan mematikan. Namun, eksekusi dengan regu tembak terakhir kali dilaksanakan di Utah pada 2010.

Sigmon, yang sempat mengajukan permohonan penundaan eksekusi pada menit-menit terakhir, memilih regu tembak setelah merasa bahwa pilihan lainnya tidak kalah mengerikan. Dalam penjelasannya, pengacara Sigmon mengatakan bahwa dirinya terjebak dalam dilema antara kursi listrik, yang ia anggap dapat mengakibatkan kematian yang sangat menyakitkan, dan suntikan mematikan yang berisiko menyebabkan kematian yang berlangsung lama, seperti yang dialami oleh tiga narapidana lainnya di Carolina Selatan sejak September.

Hukuman Mati di Amerika Serikat: Seiring Waktu, Jumlah Eksekusi Menurun

Eksekusi ini terjadi di tengah perdebatan yang semakin besar mengenai hukuman mati di Amerika Serikat. Saat ini, 23 dari 50 negara bagian di AS telah menghapuskan hukuman mati, sementara beberapa negara bagian lainnya, termasuk California, Oregon, dan Pennsylvania, telah memberlakukan moratorium atau penangguhan pelaksanaan hukuman mati. Meskipun demikian, beberapa negara bagian seperti Carolina Selatan masih melaksanakan eksekusi, dengan Gubernur Henry McMaster menolak permohonan grasi yang diajukan oleh Sigmon.

Pada 2025, AS telah melaksanakan enam eksekusi, setelah 25 eksekusi dilaksanakan sepanjang tahun 2024. Presiden Donald Trump, yang pernah menjadi pendukung keras hukuman mati, menginginkan perluasan penerapan hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan paling keji, meskipun banyak pihak yang mengkritik praktik ini sebagai bentuk kekejaman negara.

Eksekusi Brad Sigmon menandai babak baru dalam sejarah hukuman mati di Amerika Serikat, dan memperdalam perdebatan tentang moralitas dan efektivitas penerapan hukuman mati di dunia modern.

Trump Ingin Usir Penduduk Gaza, OKI Langsung Bertindak

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) secara resmi mengeluarkan pernyataan bersama pada Sabtu (8/3) pagi, yang menanggapi rencana kontroversial mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait Jalur Gaza. Dalam pertemuan darurat yang berlangsung di Jeddah, Arab Saudi, organisasi beranggotakan 57 negara itu menegaskan sikapnya terhadap usulan Trump yang ingin mengambil alih Gaza dan menggusur penduduknya.

Kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut mencakup usulan untuk membangun kembali Jalur Gaza di bawah pemerintahan Otoritas Palestina. OKI menyebut langkah ini sebagai bagian dari upaya pemulihan cepat pascakonflik di wilayah tersebut.

“OKI mengadopsi rencana percepatan pemulihan dan rekonstruksi Gaza,” demikian bunyi pernyataan resmi yang dirilis setelah pertemuan tersebut.

Meskipun demikian, dalam pernyataan tersebut tidak disebutkan peran Hamas, yang selama ini ditolak oleh Amerika Serikat dan Israel, dalam proses rekonstruksi tersebut.

OKI juga menyerukan kepada komunitas internasional serta lembaga pendanaan global dan regional untuk segera memberikan dukungan finansial yang diperlukan guna merealisasikan rencana tersebut.

Dukungan dari Liga Arab dan Masyarakat Internasional

Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, menyambut baik inisiatif OKI dan berharap langkah tersebut mendapat dukungan luas dari masyarakat internasional, termasuk dari Amerika Serikat.

“Langkah berikutnya adalah menjadikan rencana ini sebagai proyek internasional dengan dukungan Uni Eropa, serta negara-negara besar seperti Jepang, Rusia, dan Tiongkok,” ujar Abdelatty seperti dikutip dari AFP.

Ia juga menegaskan bahwa pihaknya telah menjalin komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan global, termasuk Amerika Serikat, guna memastikan implementasi rencana tersebut.

Respons AS dan Reaksi Dunia

Utusan Donald Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, merespons keputusan OKI dengan sikap positif. Ia menilai langkah tersebut sebagai “inisiatif awal yang menunjukkan itikad baik.”

Sebelumnya, Trump menuai kecaman internasional setelah mengumumkan rencana untuk mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi “Riviera Timur Tengah.” Rencana ini mencakup pemindahan paksa warga Palestina ke Mesir atau Yordania, yang memicu kemarahan negara-negara Arab dan dunia Islam.

Akibat kontroversi ini, negara-negara Arab justru semakin memperkuat solidaritas mereka dalam menolak rencana tersebut. Dengan adanya kesepakatan dari OKI, upaya rekonstruksi Gaza kini berpotensi mendapatkan dukungan lebih luas dari komunitas global.

Trump dan Elon Musk Bersekutu? PNS AS Langsung Kena Peringatan!

Dalam langkah drastis yang mengejutkan banyak pihak, staf khusus Pemerintah Amerika Serikat, Elon Musk, mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh pegawai federal untuk menunjukkan produktivitas tinggi atau menghadapi kemungkinan pemecatan. Keputusan ini muncul setelah Presiden Donald Trump meminta Musk untuk memangkas anggaran pemerintahan secara lebih agresif.

Sebagai bagian dari langkah reformasi birokrasi, Musk kini memimpin upaya peninjauan kinerja pegawai federal secara ketat. Seluruh pegawai akan menerima e-mail berisi permintaan laporan aktivitas kerja mereka dalam satu minggu terakhir. Musk menegaskan bahwa ketidakpatuhan dalam memberikan tanggapan akan dianggap sebagai bentuk pengunduran diri secara sukarela.

E-mail Evaluasi Kinerja dan Ancaman Pemecatan

Berdasarkan laporan yang diperoleh AFP, e-mail dengan subjek “Apa yang Anda lakukan minggu lalu?” dikirimkan oleh Kantor Manajemen Personalia AS kepada seluruh pegawai federal. Pesan tersebut memberikan batas waktu hingga Senin (24/2/2025) pukul 23.59 bagi pegawai untuk menyerahkan laporan mereka.

Dalam pesan yang bocor ke publik, disebutkan bahwa pegawai diminta untuk merinci lima pencapaian utama mereka dalam seminggu terakhir. Meskipun tidak ada pernyataan eksplisit bahwa keterlambatan atau kelalaian dalam merespons akan langsung berujung pada pemecatan, kebijakan ini dianggap sebagai bagian dari upaya menegakkan disiplin serta meningkatkan efisiensi kerja di sektor pemerintahan.

Melalui platform Truth Social, Presiden Trump mengungkapkan dukungannya terhadap langkah yang diambil Musk.

“Ingat, kita memiliki negara yang harus diselamatkan!” tulis Trump.

Ia juga menambahkan bahwa meskipun Musk telah melakukan pekerjaan yang baik, ia berharap pengusaha teknologi tersebut bisa bertindak lebih agresif lagi dalam memotong pengeluaran pemerintah.

Musk Ditugaskan Memimpin Reformasi Pemerintah

Sebagai bagian dari reformasi besar-besaran, Trump menunjuk Elon Musk untuk memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE)—sebuah lembaga baru yang dibentuk untuk mengawasi pengeluaran publik serta mengatasi pemborosan dan potensi korupsi dalam birokrasi AS.

Selain itu, Departemen Pertahanan AS juga mengumumkan pemangkasan tenaga kerja sipil sebesar lima persen, yang mulai diberlakukan pada Jumat (21/2/2025). Langkah ini menuai kontroversi dan mendapatkan perlawanan dari sejumlah serikat pekerja yang mencoba mengajukan permohonan penghentian sementara kebijakan pemecatan massal. Namun, seorang hakim federal menolak permohonan tersebut pada Kamis (20/2/2025), yang berarti kebijakan tetap berjalan sesuai rencana.

Di tengah polemik ini, administrasi Trump diketahui telah memberhentikan beberapa pegawai federal yang masih dalam masa percobaan, sebagai bagian dari strategi efisiensi yang lebih luas.

Musk dan Trump: Kerja Sama yang Kontroversial

Meski kebijakan ini memicu perdebatan, Musk tetap berkomitmen untuk mendukung kebijakan Trump, selama hubungan politik di antara keduanya tetap berjalan baik. Ia juga menepis anggapan bahwa keterlibatannya dalam kontrak pemerintahan akan menimbulkan konflik kepentingan.

Langkah ini semakin mengukuhkan peran Musk dalam pemerintahan Trump dan menandai babak baru dalam cara birokrasi AS dikelola. Namun, apakah kebijakan tegas ini akan benar-benar meningkatkan efisiensi pemerintahan, atau justru menimbulkan gelombang ketidakpuasan di kalangan pegawai federal? Waktu yang akan menjawabnya.

Migran Ilegal India Dipulangkan, AS Perketat Aturan Imigrasi

Pada Sabtu (15/2/2025), sebanyak 119 migran asal India dideportasi dari Amerika Serikat dan tiba di Kota Amritsar, India Utara, sebagai bagian dari kebijakan tegas yang diterapkan oleh Pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, untuk menangani imigrasi ilegal. Deportasi kali ini menggunakan pesawat kargo militer C17 Globemaster III, yang membawa lebih dari seratus migran, sebagian besar berasal dari negara bagian Punjab dan Haryana. Gelombang deportasi ini mengundang berbagai reaksi, baik di AS maupun di India.

Mayoritas migran yang dideportasi adalah pria berusia antara 18 hingga 30 tahun. Namun, tak hanya kaum pria, ada juga empat perempuan dan dua anak di bawah umur yang turut dipulangkan. Pada hari Minggu (16/2/2025), menurut laporan The Independent, gelombang ketiga deportasi diperkirakan akan diberangkatkan, dengan lebih dari 150 migran lainnya dipulangkan ke India.

Pemerintah India menyatakan bahwa mereka telah menyiapkan langkah-langkah untuk memfasilitasi kepulangan para migran tersebut. Beberapa migran yang berasal dari Goa, Gujarat, dan Maharashtra dipulangkan dengan penerbangan pagi, sementara migran yang berasal dari Punjab dan Haryana akan melanjutkan perjalanan darat ke daerah asal mereka. Menteri Luar Negeri India, Vikram Misri, mengungkapkan bahwa sekitar 500 warga negara India tercatat dalam daftar deportasi akibat kebijakan keras pemerintahan Trump terhadap imigrasi ilegal. Banyak dari migran ilegal ini sebelumnya membayar penyelundup hingga puluhan ribu dolar AS untuk bisa memasuki AS atau negara-negara Barat, dengan sebagian dana tersebut diperoleh melalui cara-cara ekstrem, seperti menggadaikan tanah atau perhiasan.

Proses deportasi ini pertama kali dimulai pada awal bulan Februari, dengan penerbangan pertama yang membawa sejumlah migran ilegal India mendarat di Amritsar. Namun, pemulangan massal ini memicu reaksi politik yang cukup kuat di India. Partai-partai oposisi mengkritik Pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi karena dianggap bungkam mengenai cara-cara memalukan dalam pemulangan warganya. Pawan Khera, juru bicara Partai Kongres, mengungkapkan rasa kecewa dan sedihnya melihat foto-foto migran yang dideportasi dengan diborgol dan diperlakukan dengan tidak hormat. “Melihat foto-foto orang India yang diborgol dan dipermalukan saat dideportasi dari AS membuat saya sedih sebagai orang India,” ujar Khera.

Sindiran juga datang dari Kepala Menteri Punjab, Bhagwant Mann, yang berasal dari partai oposisi Aam Aadmi. Ia menyatakan, “Ketika Modi berjabat tangan dengan temannya Donald Trump, warga negara India dideportasi dengan rantai di pesawat militer. Ini adalah hadiah balasan Trump kepada Modi.” Kritik-kritik ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap cara pemerintah menangani pemulangan migran yang terkesan tidak berperasaan dan memalukan.

Meski mendapat kritik tajam, Pemerintah India tetap menegaskan komitmennya untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam menangani masalah imigrasi ilegal. Mereka siap menerima kembali warga negara yang dipulangkan, dengan syarat kewarganegaraan mereka dapat diverifikasi dengan benar. Juru bicara Kementerian Luar Negeri India, Randhir Jaiswal, menegaskan bahwa setiap warga India yang melanggar aturan imigrasi di negara manapun, termasuk AS, akan dipulangkan ke tanah air mereka. “Kami akan memfasilitasi pemulangan mereka ke India, dengan syarat kewarganegaraan mereka dapat diverifikasi,” kata Jaiswal.

Tindakan deportasi ini merupakan bagian dari kebijakan AS yang lebih luas untuk menanggulangi imigrasi ilegal, yang terus menjadi sorotan dalam konteks hubungan politik antara Amerika Serikat dan India. Kebijakan ini memicu perdebatan mengenai hak asasi manusia, perlakuan terhadap migran, dan hubungan bilateral yang semakin kompleks antara kedua negara. Dengan jumlah migran yang terus bertambah, proses deportasi ini berpotensi menjadi isu yang lebih besar di masa mendatang, mempengaruhi persepsi publik terhadap pemerintah India dan kebijakan imigrasi internasional.

India Siap Borong Jet Tempur F-35, AS Setuju?

Amerika Serikat (AS) akan memperluas kerja sama militer dengan India melalui peningkatan penjualan senjata dalam skala besar. Salah satu rencana strategis yang diumumkan adalah kemungkinan penyediaan jet tempur siluman F-35 ke India. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Presiden AS, Donald Trump, usai pertemuannya dengan Perdana Menteri India, Narendra Modi, di Gedung Putih pada Kamis (13/2/2025).

“Kami siap meningkatkan penjualan militer ke India hingga miliaran dolar dan membuka jalan bagi kemungkinan pengiriman jet tempur F-35,” ujar Trump dalam konferensi pers bersama Modi.

Meskipun belum ada jadwal pasti terkait realisasi pengiriman F-35, transaksi militer semacam ini umumnya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan. Selain itu, ada prosedur ketat yang harus diikuti sebelum India benar-benar dapat memiliki pesawat tempur canggih tersebut.

Kesepakatan Perdagangan dan Keamanan

Selain pembahasan mengenai alutsista, kedua pemimpin negara juga menyoroti peningkatan impor minyak dan gas AS oleh India sebagai langkah untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Selain itu, Trump menegaskan bahwa kemitraan AS dan India sangat penting dalam menghadapi ancaman terorisme global, terutama di kawasan Indo-Pasifik.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri India, Vikram Misri, menyatakan bahwa negaranya masih berada dalam tahap awal proses evaluasi terhadap kemungkinan akuisisi jet F-35. “Saat ini, kami masih dalam tahap proposal terkait pembelian sistem pertahanan udara canggih, termasuk pesawat tempur generasi terbaru,” jelas Misri kepada wartawan.

Perusahaan pertahanan Lockheed Martin, yang memproduksi F-35, menegaskan bahwa setiap diskusi mengenai penjualan jet tersebut akan dilakukan melalui kesepakatan antar-pemerintah (G2G), di mana Pentagon akan bertindak sebagai perantara antara perusahaan produsen dan pemerintah India.

Sejak 2008, India telah menyetujui pembelian lebih dari 20 miliar dolar AS dalam produk pertahanan dari Amerika Serikat. Pada tahun lalu, India juga sepakat untuk membeli 31 drone MQ-9B SeaGuardian dan SkyGuardian, setelah negosiasi panjang selama enam tahun. Menurut laporan Badan Riset Kongres AS, India diperkirakan akan menginvestasikan lebih dari 200 miliar dolar AS dalam 10 tahun ke depan untuk memodernisasi militernya.

India Mulai Beralih dari Rusia?

Selama beberapa dekade, Rusia menjadi pemasok utama peralatan militer India. Namun, akibat perang di Ukraina, kemampuan Rusia untuk mengekspor senjata mengalami tantangan besar, yang mendorong India untuk mulai mencari alternatif dari negara-negara Barat, termasuk AS.

Meski demikian, Rusia masih berupaya mempertahankan pengaruhnya dengan menawarkan produksi jet tempur siluman generasi kelima Sukhoi Su-57 di India. Tawaran ini merupakan strategi Moskow agar India tetap menjalin kerja sama militer dengan mereka, meskipun India semakin memperkuat hubungan dengan AS dan negara-negara NATO lainnya.

Dengan meningkatnya dinamika geopolitik dan kebutuhan India untuk memperbarui kekuatan militernya, keputusan akhir mengenai akuisisi F-35 akan menjadi faktor kunci dalam arah strategi pertahanan India di masa depan. Akankah India beralih sepenuhnya ke Barat atau tetap menjaga keseimbangan dengan Rusia? Waktu yang akan menjawab.

Pesawat Tabrakan Lagi di AS, 1 Tewas, Terkait Jet Pribadi Milik Vince Neil

Pada Senin, 10 Februari 2025, terjadi kecelakaan tragis di Bandara Scottsdale, Arizona, Amerika Serikat, yang melibatkan dua pesawat, salah satunya adalah jet pribadi milik vokalis band rock Motley Crue, Vince Neil. Peristiwa ini menjadi sorotan setelah diketahui bahwa pesawat Learjet Model 35A milik Neil bertabrakan dengan pesawat lain yang sedang diparkir di bandara tersebut. Tabrakan ini mengakibatkan satu orang tewas dan beberapa orang lainnya mengalami luka-luka.

Menurut informasi yang dihimpun, Learjet yang terdaftar atas nama Chromed, perusahaan yang dikelola oleh Vince Neil, terbang menuju Bandara Scottsdale pada pukul 14:39 waktu setempat. Saat pesawat tersebut mendarat, entah karena sebab yang belum diketahui, pesawat keluar dari landasan pacu dan menabrak pesawat Gulfstream 200 yang terparkir di landasan. Pesawat ini adalah jet bisnis yang juga mengalami kerusakan parah dalam tabrakan tersebut.

Laporan dari pihak berwenang menyebutkan bahwa insiden ini melibatkan lima orang, termasuk dua pilot dan dua penumpang di pesawat Neil. Namun, yang mengejutkan, Vince Neil sendiri tidak berada di dalam pesawat saat kecelakaan terjadi. Menurut pengacaranya, Neil tengah mengirimkan doa dan dukungannya kepada semua yang terlibat dalam insiden ini. “Pikiran dan doa kami bersama mereka yang terlibat dalam kecelakaan ini,” ujar pernyataan resmi dari pengacara Neil.

Korban tewas dalam kejadian ini belum diketahui identitasnya, namun beberapa orang yang terluka, termasuk pacar Vince Neil, Rain Andreani, serta temannya Ashley, langsung dilarikan ke rumah sakit. Andreani dilaporkan mengalami lima patah tulang rusuk dan mendapatkan perawatan intensif. Beruntung, beberapa anjing peliharaan yang dibawa bersama mereka ke dalam pesawat dilaporkan selamat.

Tabrakan ini juga menyita perhatian publik karena terjadi di tengah serangkaian kecelakaan tragis lainnya yang melibatkan pesawat. Dalam beberapa minggu terakhir, Badan Penerbangan Federal (FAA) sedang menyelidiki tiga kecelakaan mematikan di Amerika Serikat, termasuk tabrakan udara antara helikopter Black Hawk milik Angkatan Darat AS dan jet penumpang di Washington DC yang menewaskan 67 orang, serta kecelakaan jet medis yang merenggut tujuh nyawa di Philadelphia.

Meskipun penyelidikan kecelakaan ini masih berlangsung, pihak berwenang setempat mengatakan bahwa situasi ini merupakan salah satu yang “aneh dan kompleks” karena tabrakan tersebut terjadi di landasan pacu setelah pesawat Neil keluar dari jalurnya. Para penyelidik dari Badan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) saat ini sedang bekerja untuk menggali lebih dalam mengenai sebab musabab insiden tersebut.

Sementara itu, operasi di Bandara Scottsdale sempat terganggu akibat kecelakaan ini. FAA menghentikan sementara semua penerbangan yang menuju ke bandara tersebut untuk memungkinkan penyelidikan dan evakuasi penumpang yang terjebak di lokasi kejadian.

Harga pesawat yang terlibat dalam kecelakaan ini juga menjadi perhatian. Learjet Model 35A milik Vince Neil diperkirakan bernilai sekitar USD 4,8 juta, sementara jet Gulfstream G200 yang tertabrak bisa dihargai antara USD 2,85 juta hingga USD 7,2 juta.

Peristiwa ini menambah daftar panjang kecelakaan tragis yang menimpa dunia penerbangan, namun seperti biasa, keselamatan penerbangan menjadi prioritas utama, dan penyelidikan akan berlanjut untuk memastikan penyebab kecelakaan yang menimpa Bandara Scottsdale ini.

Musk Ungkap Alasan Tidak Berminat Akuisisi TikTok

Elon Musk, yang dikenal sebagai pemilik Tesla dan platform media sosial X (sebelumnya Twitter), baru-baru ini menyampaikan bahwa ia tidak tertarik untuk membeli TikTok, meskipun perusahaan tersebut tengah berada dalam sorotan hukum di Amerika Serikat. Dalam sebuah video yang dirilis pada akhir pekan lalu, Musk menegaskan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk mengakuisisi aplikasi berbasis video tersebut, yang saat ini menghadapi tekanan dari pemerintah AS terkait masalah keamanan nasional.

TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance, perusahaan asal China, tengah berada dalam perdebatan hukum di AS terkait masalah pengumpulan data pengguna yang dianggap berisiko bagi privasi warga negara. Pemerintah AS telah mengancam akan melarang operasional TikTok di negara itu, kecuali perusahaan tersebut dipisahkan dari pemilik asalnya. Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, hal ini sempat memicu kebijakan yang mengarah pada pembatasan TikTok, dengan keputusan untuk memaksa pemisahan atau larangan total terhadap aplikasi tersebut.

Meskipun TikTok terjebak dalam masalah hukum ini, Trump pernah mengusulkan Musk, yang juga merupakan salah satu pendukung keuangan kampanye presidennya, untuk membeli TikTok. Namun, Musk dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak tertarik untuk mengambil langkah tersebut. “Saya pribadi tidak menggunakan TikTok, jadi saya tidak begitu mengenalnya. Saya tidak tertarik untuk mengakuisisi TikTok,” jelas Musk, seperti yang dikutip dari kantor berita AFP pada Minggu (9/2/2025).

Sebelumnya, Musk membuat gebrakan besar dengan membeli Twitter seharga 44 miliar dolar AS pada 2022, yang kemudian berganti nama menjadi X. Keputusan tersebut diambil dengan alasan untuk melindungi kebebasan berbicara di platform. Namun, kebijakan baru yang diterapkan setelah pengambilalihan tersebut memicu kontroversi, dengan adanya lonjakan ujaran kebencian dan disinformasi di X, yang menjadi sorotan dari berbagai organisasi hak asasi manusia.

Di sisi lain, Musk juga turut berperan aktif dalam mendukung kebijakan fiskal Trump, termasuk pemotongan anggaran presiden AS. Dalam kesempatan yang sama, Musk mengkritik kebijakan Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI), yang menurutnya merupakan bentuk rasisme dengan nama baru. “DEI hanyalah rasisme yang diberi nama baru. Saya menentang rasisme dan seksisme, tidak peduli kepada siapa hal itu ditujukan,” tegas Musk dalam komentarnya di forum Jerman.

Di tengah ketegangan politik ini, pejabat AS kini sedang berusaha untuk menerapkan kebijakan yang mengurangi inisiatif-inisiatif DEI di seluruh birokrasi federal, yang mencakup penghentian pelatihan, pembatalan hibah, serta pengurangan jumlah pegawai dalam sektor-sektor terkait. Sebuah perubahan yang mungkin akan terus mempengaruhi dinamika politik dan sosial di AS.