Eltasya Natasha Rilis Music Video “Terpatri”, Ajak Penggemar Ikut Kompetisi Cover di TikTok

Penyanyi muda berbakat asal Medan, Eltasya Natasha, baru saja merilis video klip (MV) untuk single terbarunya yang berjudul Terpatri. Peluncuran MV ini disambut meriah oleh penggemar yang ikut serta dalam acara preview online bersama Eltasya. Meskipun merasa gugup, Eltasya merasa bersyukur karena banyak doa dan dukungan yang diberikan oleh penggemarnya. “Rasanya deg-degan banget, tapi juga senang. Karena setelah singlenya rilis, tentu MV-nya yang paling dinanti,” ungkapnya.

Single Terpatri merupakan lagu pop ballad yang bercerita tentang kehilangan dan kesulitan untuk melupakan seseorang yang sangat berarti, baik itu pasangan, keluarga, atau sahabat. Lagu ini mencoba menggambarkan emosi yang dalam dan universal, yang kemudian diperkuat dengan tema yang relevan dengan kehidupan modern dalam MV-nya. Eltasya menjelaskan bahwa video klip tersebut mengangkat tema seorang perempuan yang menjadikan media sosial sebagai patokan dalam hubungan percintaan, sering kali membandingkan hubungan pribadinya dengan hubungan orang lain yang ada di sosial media.

Dalam pembuatan MV, Eltasya mengaku menghadapi berbagai tantangan, terutama saat harus beradu akting dengan pemeran laki-laki dalam sebuah adegan penting. “Tantangan terbesarnya adalah berperan sebagai perempuan yang toxic dan egois, serta mengekspresikan emosi yang sesuai dengan peran tersebut,” ujarnya. Meski dikenal dengan imej ceria, Eltasya harus keluar dari zona nyaman dan mengeksplorasi sisi emosionalnya yang lebih kompleks dalam video klip ini.

Selain itu, Eltasya juga mengajak penggemar untuk berpartisipasi dalam kompetisi cover #TerpatriDiTikTok. Ia ingin melihat bagaimana penggemar menginterpretasikan lagu ini dalam versi mereka sendiri. Respon positif terhadap MV Terpatri menunjukkan bahwa penggemar semakin tertarik dengan karya Eltasya yang penuh emosi ini.

Musk Ungkap Alasan Tidak Berminat Akuisisi TikTok

Elon Musk, yang dikenal sebagai pemilik Tesla dan platform media sosial X (sebelumnya Twitter), baru-baru ini menyampaikan bahwa ia tidak tertarik untuk membeli TikTok, meskipun perusahaan tersebut tengah berada dalam sorotan hukum di Amerika Serikat. Dalam sebuah video yang dirilis pada akhir pekan lalu, Musk menegaskan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk mengakuisisi aplikasi berbasis video tersebut, yang saat ini menghadapi tekanan dari pemerintah AS terkait masalah keamanan nasional.

TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance, perusahaan asal China, tengah berada dalam perdebatan hukum di AS terkait masalah pengumpulan data pengguna yang dianggap berisiko bagi privasi warga negara. Pemerintah AS telah mengancam akan melarang operasional TikTok di negara itu, kecuali perusahaan tersebut dipisahkan dari pemilik asalnya. Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, hal ini sempat memicu kebijakan yang mengarah pada pembatasan TikTok, dengan keputusan untuk memaksa pemisahan atau larangan total terhadap aplikasi tersebut.

Meskipun TikTok terjebak dalam masalah hukum ini, Trump pernah mengusulkan Musk, yang juga merupakan salah satu pendukung keuangan kampanye presidennya, untuk membeli TikTok. Namun, Musk dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak tertarik untuk mengambil langkah tersebut. “Saya pribadi tidak menggunakan TikTok, jadi saya tidak begitu mengenalnya. Saya tidak tertarik untuk mengakuisisi TikTok,” jelas Musk, seperti yang dikutip dari kantor berita AFP pada Minggu (9/2/2025).

Sebelumnya, Musk membuat gebrakan besar dengan membeli Twitter seharga 44 miliar dolar AS pada 2022, yang kemudian berganti nama menjadi X. Keputusan tersebut diambil dengan alasan untuk melindungi kebebasan berbicara di platform. Namun, kebijakan baru yang diterapkan setelah pengambilalihan tersebut memicu kontroversi, dengan adanya lonjakan ujaran kebencian dan disinformasi di X, yang menjadi sorotan dari berbagai organisasi hak asasi manusia.

Di sisi lain, Musk juga turut berperan aktif dalam mendukung kebijakan fiskal Trump, termasuk pemotongan anggaran presiden AS. Dalam kesempatan yang sama, Musk mengkritik kebijakan Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI), yang menurutnya merupakan bentuk rasisme dengan nama baru. “DEI hanyalah rasisme yang diberi nama baru. Saya menentang rasisme dan seksisme, tidak peduli kepada siapa hal itu ditujukan,” tegas Musk dalam komentarnya di forum Jerman.

Di tengah ketegangan politik ini, pejabat AS kini sedang berusaha untuk menerapkan kebijakan yang mengurangi inisiatif-inisiatif DEI di seluruh birokrasi federal, yang mencakup penghentian pelatihan, pembatalan hibah, serta pengurangan jumlah pegawai dalam sektor-sektor terkait. Sebuah perubahan yang mungkin akan terus mempengaruhi dinamika politik dan sosial di AS.

TikTok Tuduh Amerika Serikat Tebang Pilih Dalam Aturan Jelang Pemblokiran

TikTok mengeluarkan pernyataan yang menuduh pemerintah Amerika Serikat menerapkan aturan yang tidak konsisten dan tebang pilih terkait pemblokiran platform tersebut. Tuduhan ini muncul menjelang tenggat waktu pemblokiran yang dijadwalkan pada 19 Januari 2025, jika perusahaan induknya, ByteDance, tidak memenuhi syarat penjualan aset di AS. Ini menunjukkan ketegangan yang terus meningkat antara perusahaan teknologi dan pemerintah terkait isu privasi dan keamanan data.

Pemerintah AS telah menyatakan bahwa TikTok dapat menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional, terutama terkait akses data pengguna oleh pemerintah Tiongkok. Undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden Joe Biden pada April 2024 mewajibkan ByteDance untuk menjual TikTok sebelum tenggat waktu tersebut. Jika tidak, aplikasi ini akan diblokir secara permanen. Ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas tentang pengaruh asing dan perlindungan data di era digital.

Meskipun TikTok berusaha untuk membela diri, survei menunjukkan bahwa mayoritas orang tua di AS mendukung langkah pemblokiran ini demi melindungi anak-anak mereka dari potensi risiko yang ada di platform tersebut. Banyak orang tua khawatir tentang konten yang tidak pantas dan kemungkinan eksploitasi anak melalui fitur interaktif TikTok. Ini menunjukkan bahwa masalah keamanan anak menjadi perhatian utama dalam diskusi mengenai kebijakan media sosial.

ByteDance membantah semua tuduhan yang diarahkan kepada mereka dan mengklaim bahwa data pengguna di AS disimpan di server domestik dengan pengawasan ketat. Perusahaan ini menuduh pemerintah AS bertindak berlebihan tanpa bukti yang jelas untuk mendukung klaim tersebut. Tanggapan ini mencerminkan ketidakpuasan perusahaan terhadap pendekatan pemerintah dalam menangani masalah privasi dan keamanan.

Kontroversi seputar pemblokiran TikTok juga memicu perdebatan tentang kebebasan berbicara. Banyak pengguna dan kreator di platform ini merasa bahwa pemblokiran akan melanggar hak mereka untuk berekspresi, yang dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS. Diskusi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dapat memiliki dampak luas terhadap hak digital individu.

Dengan tenggat waktu pemblokiran semakin dekat, semua pihak kini diajak untuk memperhatikan bagaimana situasi ini akan berkembang. Keputusan akhir mengenai nasib TikTok di AS akan sangat bergantung pada hasil negosiasi antara ByteDance dan pemerintah serta keputusan hukum yang mungkin diambil. Ini menjadi momen penting bagi industri teknologi dan pengguna media sosial untuk menyaksikan bagaimana kebijakan privasi dan keamanan akan mempengaruhi akses terhadap platform digital di masa depan.