Zelensky Menyatakan Pemilu Ukraina Tetap Tertunda Walau Ada Gencatan Senjata

Penasihat Presiden Ukraina, Mikhail Podoliak, menegaskan bahwa Ukraina akan terus mempertahankan status darurat militer dan tidak akan mengadakan pemilihan presiden, meskipun gencatan senjata dengan Rusia tercapai. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara dengan surat kabar Italia la Repubblica pada Jumat lalu, di mana ia menegaskan bahwa Ukraina akan tetap fokus pada keamanan dan stabilitas negara meskipun ada perubahan dalam dinamika konflik.

Darurat militer di Ukraina telah diberlakukan sejak Februari 2022, menyusul eskalasi konflik dengan Rusia. Masa jabatan Presiden Volodymyr Zelensky secara resmi akan berakhir pada Mei 2024. Namun, Zelensky menolak untuk menyelenggarakan pemilu dalam situasi darurat, memicu perdebatan mengenai keabsahan pemerintahan saat ini. Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra, dengan sebagian pihak menganggapnya sebagai langkah yang melanggar prinsip demokrasi, sementara yang lainnya mendukungnya demi keamanan negara.

Sementara itu, Amerika Serikat telah berusaha untuk memediasi perdamaian dalam konflik ini sejak masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Baru-baru ini, AS mengusulkan gencatan senjata sementara selama 30 hari sebagai bagian dari upaya mencapai kesepakatan damai. Ukraina sendiri menyatakan kesiapan untuk melaksanakan gencatan senjata tersebut, dengan syarat persetujuan dari pihak Rusia.

Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin memberikan tanggapan positif terhadap ide gencatan senjata, meskipun ia menyebutkan beberapa masalah yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa isu-isu tersebut kemungkinan akan dibahas lebih lanjut dengan Washington dalam pertemuan mendatang.

Podoliak menekankan bahwa meskipun gencatan senjata sementara bisa dilakukan, hal itu tidak berarti berakhirnya konflik. Menurutnya, Ukraina harus tetap mempertahankan kapasitas untuk bertempur sampai situasi benar-benar terkendali. Ia menambahkan bahwa gencatan senjata 30 hari tidak akan membuka jalan bagi pelaksanaan pemilu.

Pada bulan Januari, Putin sempat mengkritik keabsahan pemerintahan Zelensky, dengan menyatakan bahwa hal tersebut bisa membatalkan perjanjian apapun yang melibatkan pemerintahannya. Zelensky juga telah mengeluarkan undang-undang yang melarang negosiasi langsung dengan pimpinan Rusia, yang semakin memperburuk ketegangan di antara kedua negara.

Pemerintahan Trump, yang mulai membangun kembali kontak dengan Rusia, berusaha untuk mendorong Kiev mencari solusi atas permusuhan ini. Pada Februari lalu, Kremlin mengungkapkan kesiapan Putin untuk bernegosiasi dengan Zelensky, meskipun dengan catatan perlunya membahas masalah hukum terkait dengan legitimasi Zelensky sebagai kepala negara.

Ketegangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada usulan gencatan senjata, jalan menuju perdamaian masih terjal dan penuh dengan hambatan politik, hukum, dan militer. Konflik ini terus menjadi ujian besar bagi stabilitas kawasan serta hubungan internasional antara Rusia, Ukraina, dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

Trump Tegaskan Kebijakan Visa Baru untuk Negara Muslim, Kenapa?

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berencana untuk memberlakukan pembatasan perjalanan bagi warga negara dari sejumlah negara mayoritas Muslim. Pembatasan ini direncanakan akan mulai diberlakukan pada pekan depan, dengan pemberian kode “daftar merah” bagi negara-negara yang visanya tidak akan diterima di Amerika Serikat.

Menurut laporan pejabat yang terlibat, negara-negara yang akan terpengaruh oleh kebijakan ini sebagian besar adalah negara yang sebelumnya telah masuk dalam daftar pembatasan perjalanan. Beberapa negara yang akan masuk dalam kategori tersebut antara lain Iran, Suriah, Yaman, Sudan, Somalia, Venezuela, Kuba, dan Korea Utara.

Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan dari perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Presiden Trump pada 20 Januari lalu, yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan bagi warga AS dari ancaman terorisme asing dan masalah keamanan lainnya. “Perintah eksekutif ini bertujuan untuk melindungi warga AS dari individu yang berniat melakukan serangan teroris, mengancam keamanan nasional, atau mengeksploitasi undang-undang imigrasi untuk tujuan yang merugikan,” demikian pernyataan dalam draf tersebut, yang dilansir oleh USA Today.

Dalam perintah eksekutif tersebut, pihak berwenang AS diminta untuk melakukan peninjauan menyeluruh terhadap individu yang hendak memasuki AS dari negara-negara yang masuk dalam kategori daftar merah. Jika ditemukan potensi ancaman atau kegiatan yang mencurigakan, individu-individu tersebut bisa saja dideportasi.

Selain itu, Trump juga memerintahkan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap visa yang telah diterbitkan untuk pemegang paspor dari negara-negara yang dianggap memiliki sistem penyaringan keamanan yang lemah. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa individu yang datang ke AS tidak memiliki niat buruk terhadap warga atau pemerintah AS, serta tidak membawa ideologi kebencian atau sikap bermusuhan terhadap negara tersebut.

Sebagai bagian dari kebijakan ini, selain kode “daftar merah,” Trump juga menetapkan kode-kode lainnya yang akan digunakan untuk membedakan tingkat pembatasan yang diberlakukan terhadap negara-negara tertentu.

Langkah ini memicu perdebatan di dalam negeri dan internasional, dengan banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas dan dampak dari kebijakan tersebut terhadap hubungan AS dengan negara-negara terkait, serta potensi diskriminasi terhadap kelompok tertentu berdasarkan agama atau asal negara.

Ukraina Mungkin Teken Gencatan Senjata dengan Rusia Setelah Tekanan Pemerintah Trump

Di tengah ketegangan yang terus meningkat, Ukraina mengungkapkan rencananya untuk mengajukan proposal gencatan senjata sebagian kepada Rusia, yang akan disampaikan kepada Amerika Serikat pada Selasa (11/3). Langkah ini dilakukan di tengah tekanan besar dari Washington untuk mencari solusi damai atas konflik yang telah berlangsung lama antara Rusia dan Ukraina.

Pembicaraan mengenai nasib perang ini akan dilanjutkan di Jeddah, Arab Saudi, tempat pertemuan antara pejabat AS dan Ukraina digelar untuk membahas perkembangan terbaru. Seorang pejabat Ukraina mengonfirmasi kepada AFP pada Senin (10/3) bahwa mereka memiliki usulan untuk gencatan senjata yang mencakup wilayah udara dan laut. “Ini adalah jenis gencatan senjata yang dapat diterapkan dengan mudah, dipantau, dan mungkin dapat segera dimulai,” katanya.

Gencatan Senjata: Sebuah Langkah Awal Menuju Perdamaian?

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, menyatakan bahwa pihak AS akan menyambut baik usulan tersebut. Meskipun dia tidak mengklaim bahwa ini adalah solusi penuh untuk mengakhiri konflik, Rubio menyebutkan bahwa usulan tersebut bisa menjadi langkah awal yang penting menuju kesepakatan. “Ini adalah konsesi yang perlu diperhatikan dalam upaya mengakhiri konflik ini,” ungkapnya.

Namun, Rubio menegaskan bahwa kesepakatan untuk gencatan senjata yang efektif hanya dapat tercapai jika kedua belah pihak, yaitu Ukraina dan Rusia, dapat mencapai titik temu. “Rusia tidak bisa menguasai seluruh Ukraina. Dan jelas, akan sangat sulit bagi Ukraina untuk memaksa Rusia kembali ke posisi mereka pada tahun 2014,” ujar Rubio, merujuk pada aneksasi Rusia terhadap Semenanjung Crimea sembilan tahun lalu.

Zelensky Bertemu Pemimpin Arab Saudi

Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga mengunjungi Jeddah, namun kunjungannya kali ini bukan untuk langsung terlibat dalam negosiasi. Zelensky bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, untuk membahas syarat-syarat Ukraina terkait dengan potensi kesepakatan damai permanen.

Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin membahas kemungkinan peran Arab Saudi dalam memediasi pembebasan tahanan, baik militer maupun sipil, serta pemulangan anak-anak yang telah dideportasi. Mereka juga bertukar pandangan mengenai bagaimana format jaminan keamanan yang tepat bagi Ukraina untuk memastikan bahwa perang ini tidak akan terulang kembali.

Latar Belakang Ketegangan dengan AS

Rencana gencatan senjata sebagian ini muncul setelah adanya ketegangan antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan mantan Presiden AS, Donald Trump. Trump sempat mengancam untuk menghentikan bantuan militer kepada Ukraina dan menarik dukungannya. AS sendiri telah menjadi donatur utama bagi Ukraina sejak invasi Rusia dimulai. Ketegangan ini menambah kompleksitas dalam upaya untuk mencapai perdamaian yang lebih stabil di kawasan tersebut.

Dengan gencatan senjata sebagian yang diusulkan, Ukraina berharap bisa menciptakan peluang untuk memulai dialog lebih lanjut dengan Rusia. Namun, dengan posisi Rusia yang terus mengklaim kemenangan atas beberapa wilayah Ukraina, apakah langkah ini bisa membawa hasil yang signifikan atau justru akan memperpanjang ketegangan yang ada? Semua ini masih harus dilihat dalam pertemuan dan pembicaraan lebih lanjut yang terus berlangsung.

Eksekusi Mati Brad Sigmon: Pilihannya Jatuh pada Regu Tembak

Brad Sigmon, seorang narapidana berusia 67 tahun asal Carolina Selatan, Amerika Serikat, menjadi sorotan dunia setelah memilih untuk dieksekusi dengan regu tembak sebagai alternatif dari suntikan mematikan atau kursi listrik. Sigmon dihukum atas pembunuhan dua orang tua mantan pacarnya, David dan Gladys Larke, yang ia bunuh dengan tongkat bisbol pada tahun 2001. Eksekusi yang berlangsung pada Jumat, 7 Maret 2025, ini menandai eksekusi regu tembak pertama di Amerika Serikat dalam 15 tahun terakhir, sebuah keputusan yang memicu perdebatan terkait hukuman mati di negara tersebut.

Menurut laporan dari AFP pada Sabtu (8/3/2025), eksekusi dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Broad River di kota Columbia, ibu kota Carolina Selatan. Sigmon, yang mengenakan pakaian terusan hitam dengan tanda sasaran merah di dada, diikat di kursi eksekusi saat regu tembak, yang terdiri dari tiga orang, melepaskan tembakan bersamaan pada pukul 18.05 waktu setempat. Tembakan tersebut menewaskan Sigmon dalam waktu singkat, dan ia dinyatakan meninggal dunia oleh seorang dokter pada pukul 18.08.

Saksi Mata Melaporkan Kejadian Mengerikan

Sejumlah wartawan menyaksikan eksekusi tersebut dari balik kaca pelindung, termasuk reporter Anna Dobbins dari stasiun TV WYFF News 4. Dobbins melaporkan bahwa setelah tembakan dilepaskan, Sigmon tampak tegang, dan darah terlihat muncrat saat peluru menembus tubuhnya. Kejadian tersebut berlangsung sangat cepat dan menciptakan suara seperti satu tembakan besar, sebuah pengalaman yang menimbulkan kesan mengerikan bagi yang menyaksikannya.

Pada pernyataan terakhirnya, yang dibacakan oleh pengacaranya Gerald “Bo” King, Sigmon menyampaikan pesan penuh kasih dan meminta agar hukuman mati dihentikan. Dalam pernyataan tersebut, Sigmon menegaskan pentingnya mengakhiri praktik hukuman mati yang menurutnya terlalu kejam.

Perdebatan Tentang Hukuman Mati dan Metode Eksekusi

Eksekusi regu tembak ini menambah sorotan terhadap penggunaan hukuman mati di Amerika Serikat, yang telah menjadi perdebatan panjang. Setelah Mahkamah Agung mengizinkan kembalinya hukuman mati pada tahun 1976, sebagian besar eksekusi di AS dilakukan dengan menggunakan suntikan mematikan. Namun, eksekusi dengan regu tembak terakhir kali dilaksanakan di Utah pada 2010.

Sigmon, yang sempat mengajukan permohonan penundaan eksekusi pada menit-menit terakhir, memilih regu tembak setelah merasa bahwa pilihan lainnya tidak kalah mengerikan. Dalam penjelasannya, pengacara Sigmon mengatakan bahwa dirinya terjebak dalam dilema antara kursi listrik, yang ia anggap dapat mengakibatkan kematian yang sangat menyakitkan, dan suntikan mematikan yang berisiko menyebabkan kematian yang berlangsung lama, seperti yang dialami oleh tiga narapidana lainnya di Carolina Selatan sejak September.

Hukuman Mati di Amerika Serikat: Seiring Waktu, Jumlah Eksekusi Menurun

Eksekusi ini terjadi di tengah perdebatan yang semakin besar mengenai hukuman mati di Amerika Serikat. Saat ini, 23 dari 50 negara bagian di AS telah menghapuskan hukuman mati, sementara beberapa negara bagian lainnya, termasuk California, Oregon, dan Pennsylvania, telah memberlakukan moratorium atau penangguhan pelaksanaan hukuman mati. Meskipun demikian, beberapa negara bagian seperti Carolina Selatan masih melaksanakan eksekusi, dengan Gubernur Henry McMaster menolak permohonan grasi yang diajukan oleh Sigmon.

Pada 2025, AS telah melaksanakan enam eksekusi, setelah 25 eksekusi dilaksanakan sepanjang tahun 2024. Presiden Donald Trump, yang pernah menjadi pendukung keras hukuman mati, menginginkan perluasan penerapan hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan paling keji, meskipun banyak pihak yang mengkritik praktik ini sebagai bentuk kekejaman negara.

Eksekusi Brad Sigmon menandai babak baru dalam sejarah hukuman mati di Amerika Serikat, dan memperdalam perdebatan tentang moralitas dan efektivitas penerapan hukuman mati di dunia modern.

Trump Ingin Usir Penduduk Gaza, OKI Langsung Bertindak

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) secara resmi mengeluarkan pernyataan bersama pada Sabtu (8/3) pagi, yang menanggapi rencana kontroversial mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait Jalur Gaza. Dalam pertemuan darurat yang berlangsung di Jeddah, Arab Saudi, organisasi beranggotakan 57 negara itu menegaskan sikapnya terhadap usulan Trump yang ingin mengambil alih Gaza dan menggusur penduduknya.

Kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut mencakup usulan untuk membangun kembali Jalur Gaza di bawah pemerintahan Otoritas Palestina. OKI menyebut langkah ini sebagai bagian dari upaya pemulihan cepat pascakonflik di wilayah tersebut.

“OKI mengadopsi rencana percepatan pemulihan dan rekonstruksi Gaza,” demikian bunyi pernyataan resmi yang dirilis setelah pertemuan tersebut.

Meskipun demikian, dalam pernyataan tersebut tidak disebutkan peran Hamas, yang selama ini ditolak oleh Amerika Serikat dan Israel, dalam proses rekonstruksi tersebut.

OKI juga menyerukan kepada komunitas internasional serta lembaga pendanaan global dan regional untuk segera memberikan dukungan finansial yang diperlukan guna merealisasikan rencana tersebut.

Dukungan dari Liga Arab dan Masyarakat Internasional

Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, menyambut baik inisiatif OKI dan berharap langkah tersebut mendapat dukungan luas dari masyarakat internasional, termasuk dari Amerika Serikat.

“Langkah berikutnya adalah menjadikan rencana ini sebagai proyek internasional dengan dukungan Uni Eropa, serta negara-negara besar seperti Jepang, Rusia, dan Tiongkok,” ujar Abdelatty seperti dikutip dari AFP.

Ia juga menegaskan bahwa pihaknya telah menjalin komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan global, termasuk Amerika Serikat, guna memastikan implementasi rencana tersebut.

Respons AS dan Reaksi Dunia

Utusan Donald Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, merespons keputusan OKI dengan sikap positif. Ia menilai langkah tersebut sebagai “inisiatif awal yang menunjukkan itikad baik.”

Sebelumnya, Trump menuai kecaman internasional setelah mengumumkan rencana untuk mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi “Riviera Timur Tengah.” Rencana ini mencakup pemindahan paksa warga Palestina ke Mesir atau Yordania, yang memicu kemarahan negara-negara Arab dan dunia Islam.

Akibat kontroversi ini, negara-negara Arab justru semakin memperkuat solidaritas mereka dalam menolak rencana tersebut. Dengan adanya kesepakatan dari OKI, upaya rekonstruksi Gaza kini berpotensi mendapatkan dukungan lebih luas dari komunitas global.

Trump dan Elon Musk Bersekutu? PNS AS Langsung Kena Peringatan!

Dalam langkah drastis yang mengejutkan banyak pihak, staf khusus Pemerintah Amerika Serikat, Elon Musk, mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh pegawai federal untuk menunjukkan produktivitas tinggi atau menghadapi kemungkinan pemecatan. Keputusan ini muncul setelah Presiden Donald Trump meminta Musk untuk memangkas anggaran pemerintahan secara lebih agresif.

Sebagai bagian dari langkah reformasi birokrasi, Musk kini memimpin upaya peninjauan kinerja pegawai federal secara ketat. Seluruh pegawai akan menerima e-mail berisi permintaan laporan aktivitas kerja mereka dalam satu minggu terakhir. Musk menegaskan bahwa ketidakpatuhan dalam memberikan tanggapan akan dianggap sebagai bentuk pengunduran diri secara sukarela.

E-mail Evaluasi Kinerja dan Ancaman Pemecatan

Berdasarkan laporan yang diperoleh AFP, e-mail dengan subjek “Apa yang Anda lakukan minggu lalu?” dikirimkan oleh Kantor Manajemen Personalia AS kepada seluruh pegawai federal. Pesan tersebut memberikan batas waktu hingga Senin (24/2/2025) pukul 23.59 bagi pegawai untuk menyerahkan laporan mereka.

Dalam pesan yang bocor ke publik, disebutkan bahwa pegawai diminta untuk merinci lima pencapaian utama mereka dalam seminggu terakhir. Meskipun tidak ada pernyataan eksplisit bahwa keterlambatan atau kelalaian dalam merespons akan langsung berujung pada pemecatan, kebijakan ini dianggap sebagai bagian dari upaya menegakkan disiplin serta meningkatkan efisiensi kerja di sektor pemerintahan.

Melalui platform Truth Social, Presiden Trump mengungkapkan dukungannya terhadap langkah yang diambil Musk.

“Ingat, kita memiliki negara yang harus diselamatkan!” tulis Trump.

Ia juga menambahkan bahwa meskipun Musk telah melakukan pekerjaan yang baik, ia berharap pengusaha teknologi tersebut bisa bertindak lebih agresif lagi dalam memotong pengeluaran pemerintah.

Musk Ditugaskan Memimpin Reformasi Pemerintah

Sebagai bagian dari reformasi besar-besaran, Trump menunjuk Elon Musk untuk memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE)—sebuah lembaga baru yang dibentuk untuk mengawasi pengeluaran publik serta mengatasi pemborosan dan potensi korupsi dalam birokrasi AS.

Selain itu, Departemen Pertahanan AS juga mengumumkan pemangkasan tenaga kerja sipil sebesar lima persen, yang mulai diberlakukan pada Jumat (21/2/2025). Langkah ini menuai kontroversi dan mendapatkan perlawanan dari sejumlah serikat pekerja yang mencoba mengajukan permohonan penghentian sementara kebijakan pemecatan massal. Namun, seorang hakim federal menolak permohonan tersebut pada Kamis (20/2/2025), yang berarti kebijakan tetap berjalan sesuai rencana.

Di tengah polemik ini, administrasi Trump diketahui telah memberhentikan beberapa pegawai federal yang masih dalam masa percobaan, sebagai bagian dari strategi efisiensi yang lebih luas.

Musk dan Trump: Kerja Sama yang Kontroversial

Meski kebijakan ini memicu perdebatan, Musk tetap berkomitmen untuk mendukung kebijakan Trump, selama hubungan politik di antara keduanya tetap berjalan baik. Ia juga menepis anggapan bahwa keterlibatannya dalam kontrak pemerintahan akan menimbulkan konflik kepentingan.

Langkah ini semakin mengukuhkan peran Musk dalam pemerintahan Trump dan menandai babak baru dalam cara birokrasi AS dikelola. Namun, apakah kebijakan tegas ini akan benar-benar meningkatkan efisiensi pemerintahan, atau justru menimbulkan gelombang ketidakpuasan di kalangan pegawai federal? Waktu yang akan menjawabnya.

Keir Starmer Jalani Tes HIV di Depan Publik, Dorong Kesadaran dan Hapus Stigma!

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, mencetak sejarah sebagai pemimpin Barat pertama yang secara terbuka melakukan tes HIV pada Jumat (7/2/2025). Tindakannya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam rangka Pekan Tes HIV Nasional yang dimulai pada Senin (10/2). Kampanye ini mengajak masyarakat untuk melakukan tes HIV secara rutin dan berupaya menghapus stigma negatif terhadap pemeriksaan HIV.

Starmer didampingi penyanyi soul asal Inggris, Beverley Knight, saat menjalani tes HIV di kediaman resminya, 10 Downing Street. Keduanya mendapatkan bimbingan langsung dari Richard Angell, Kepala Eksekutif lembaga amal The Terrence Higgins Trust (THT), mengenai cara melakukan tes HIV secara mandiri di rumah. Tes ini menggunakan alat sederhana yang bisa memberikan hasil hanya dalam waktu 15 menit, membuktikan bahwa pemeriksaan HIV dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlu mengunjungi fasilitas kesehatan.

Langkah Starmer mendapat pujian luas dari komunitas medis dan aktivis HIV/AIDS. Banyak pihak menilai tindakan ini sebagai bentuk dukungan nyata dalam menghapus stigma terhadap HIV. Menurut Richard Angell, masih banyak orang yang enggan melakukan tes karena takut dikucilkan, padahal deteksi dini sangat penting untuk pengobatan dan pencegahan penyebaran HIV.

Tes HIV yang dilakukan Starmer juga bertepatan dengan peringatan dari UNAIDS, badan AIDS di bawah naungan PBB. Mereka memperingatkan bahwa jika pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, menarik pendanaan global untuk program HIV/AIDS, lebih dari enam juta orang berisiko kehilangan nyawa dalam empat tahun ke depan. Meskipun program ini sempat mendapatkan pengecualian dalam pemotongan dana bantuan luar negeri AS bulan lalu, kekhawatiran tentang kelangsungan program pengobatan masih tinggi. UNAIDS menegaskan bahwa pendanaan yang stabil sangat dibutuhkan untuk mendukung perawatan dan edukasi terkait HIV/AIDS di seluruh dunia.

Musk Ungkap Alasan Tidak Berminat Akuisisi TikTok

Elon Musk, yang dikenal sebagai pemilik Tesla dan platform media sosial X (sebelumnya Twitter), baru-baru ini menyampaikan bahwa ia tidak tertarik untuk membeli TikTok, meskipun perusahaan tersebut tengah berada dalam sorotan hukum di Amerika Serikat. Dalam sebuah video yang dirilis pada akhir pekan lalu, Musk menegaskan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk mengakuisisi aplikasi berbasis video tersebut, yang saat ini menghadapi tekanan dari pemerintah AS terkait masalah keamanan nasional.

TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance, perusahaan asal China, tengah berada dalam perdebatan hukum di AS terkait masalah pengumpulan data pengguna yang dianggap berisiko bagi privasi warga negara. Pemerintah AS telah mengancam akan melarang operasional TikTok di negara itu, kecuali perusahaan tersebut dipisahkan dari pemilik asalnya. Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, hal ini sempat memicu kebijakan yang mengarah pada pembatasan TikTok, dengan keputusan untuk memaksa pemisahan atau larangan total terhadap aplikasi tersebut.

Meskipun TikTok terjebak dalam masalah hukum ini, Trump pernah mengusulkan Musk, yang juga merupakan salah satu pendukung keuangan kampanye presidennya, untuk membeli TikTok. Namun, Musk dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak tertarik untuk mengambil langkah tersebut. “Saya pribadi tidak menggunakan TikTok, jadi saya tidak begitu mengenalnya. Saya tidak tertarik untuk mengakuisisi TikTok,” jelas Musk, seperti yang dikutip dari kantor berita AFP pada Minggu (9/2/2025).

Sebelumnya, Musk membuat gebrakan besar dengan membeli Twitter seharga 44 miliar dolar AS pada 2022, yang kemudian berganti nama menjadi X. Keputusan tersebut diambil dengan alasan untuk melindungi kebebasan berbicara di platform. Namun, kebijakan baru yang diterapkan setelah pengambilalihan tersebut memicu kontroversi, dengan adanya lonjakan ujaran kebencian dan disinformasi di X, yang menjadi sorotan dari berbagai organisasi hak asasi manusia.

Di sisi lain, Musk juga turut berperan aktif dalam mendukung kebijakan fiskal Trump, termasuk pemotongan anggaran presiden AS. Dalam kesempatan yang sama, Musk mengkritik kebijakan Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI), yang menurutnya merupakan bentuk rasisme dengan nama baru. “DEI hanyalah rasisme yang diberi nama baru. Saya menentang rasisme dan seksisme, tidak peduli kepada siapa hal itu ditujukan,” tegas Musk dalam komentarnya di forum Jerman.

Di tengah ketegangan politik ini, pejabat AS kini sedang berusaha untuk menerapkan kebijakan yang mengurangi inisiatif-inisiatif DEI di seluruh birokrasi federal, yang mencakup penghentian pelatihan, pembatalan hibah, serta pengurangan jumlah pegawai dalam sektor-sektor terkait. Sebuah perubahan yang mungkin akan terus mempengaruhi dinamika politik dan sosial di AS.

Sisi Undang Trump ke Mesir, Bahas Krisis Timur Tengah dan Peresmian Museum Baru

Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengundang mantan Presiden AS Donald Trump untuk mengunjungi Mesir guna membahas krisis yang sedang berlangsung di Timur Tengah serta mempererat hubungan strategis kedua negara. Undangan ini disampaikan dalam percakapan telepon antara keduanya, sebagaimana diumumkan oleh kantor kepresidenan Mesir pada Sabtu (1/2).

Dalam perbincangan tersebut, Sisi mengucapkan selamat kepada Trump atas terpilihnya kembali sebagai Presiden AS, menyoroti kepercayaan besar yang diberikan rakyat Amerika terhadap kepemimpinannya. Sisi berharap kunjungan Trump ke Mesir dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat kerja sama bilateral, terutama dalam menghadapi tantangan geopolitik di kawasan.

Selain membahas isu strategis, Sisi juga mengundang Trump untuk menghadiri peresmian Grand Egyptian Museum, sebuah proyek ambisius yang akan menampilkan berbagai artefak bersejarah Mesir. Meski belum ada tanggal resmi, laporan media lokal menyebutkan bahwa peresmian museum tersebut kemungkinan berlangsung pada 3 Juli dengan serangkaian acara perayaan.

Sebagai bentuk timbal balik, Trump turut mengundang Sisi untuk melakukan kunjungan resmi ke Washington dan bertemu dengannya di Gedung Putih. Kedua pemimpin berdiskusi mengenai berbagai aspek kerja sama, termasuk keamanan regional, investasi ekonomi, serta pengelolaan sumber daya air.

Percakapan tersebut juga membahas implementasi perjanjian gencatan senjata Gaza serta pentingnya mencapai solusi damai di Timur Tengah. Mesir dan Yordania tetap menolak gagasan pemindahan warga Palestina dari Gaza, meskipun Trump sebelumnya menyatakan bahwa kedua negara akan mendukung rencana tersebut.

PBB Prihatin Atas Kebijakan Trump yang Menangguhkan Bantuan Luar Negeri

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kebijakan terbaru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait penangguhan bantuan luar negeri. Dalam konferensi pers yang disampaikan oleh juru bicaranya, Stephane Dujarric, Guterres menekankan pentingnya bantuan Amerika Serikat dalam mendukung masyarakat rentan di berbagai belahan dunia.

Keputusan ini, menurut Guterres, berpotensi mengganggu jalannya program-program kemanusiaan dan pembangunan yang menjadi sandaran utama bagi banyak komunitas yang hidup dalam kondisi sulit. Dujarric mengungkapkan bahwa PBB sangat berharap adanya pengecualian tambahan untuk memastikan kelanjutan bantuan krusial ini, terutama bagi mereka yang mata pencahariannya sangat bergantung pada dukungan tersebut.

Sebagai salah satu donor terbesar di dunia, Amerika Serikat memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas global. Oleh karena itu, Guterres menyerukan kerja sama yang erat dengan pemerintahan Trump untuk mengatasi berbagai tantangan internasional. Sekjen PBB menekankan pentingnya dialog konstruktif agar program bantuan luar negeri dapat terus berjalan tanpa hambatan.

Kebijakan penangguhan ini merupakan bagian dari perintah eksekutif yang dikeluarkan Trump, yang memerintahkan evaluasi selama 90 hari terhadap pengeluaran bantuan luar negeri guna memastikan kesesuaiannya dengan prioritas kebijakan luar negeri AS. Meskipun beberapa negara seperti Israel dan Mesir dikecualikan dari kebijakan ini, sekutu utama lainnya, termasuk Ukraina, Yordania, dan Taiwan, turut terkena dampaknya.

Langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran besar, terutama di tengah krisis global yang memerlukan solidaritas dan dukungan bersama. Guterres menegaskan bahwa keberlanjutan bantuan ini sangat penting bagi jutaan individu yang menghadapi tantangan hidup berat setiap harinya.