Fahira Idris: Tiga Tantangan Besar yang Masih Menghadang UMKM di 2024

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, menyumbang lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap hampir 97 persen tenaga kerja. Namun, meskipun kontribusinya sangat besar, sektor UMKM masih menghadapi berbagai tantangan struktural yang menghambat potensi penuh mereka sebagai penggerak utama ekonomi nasional. Fahira Idris, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, mengungkapkan bahwa ada tiga tantangan utama yang harus dihadapi sektor UMKM sepanjang 2024.

“Tantangan pertama adalah keterbatasan akses pembiayaan dan legalitas usaha. Banyak UMKM, dari sekitar 65 juta yang ada, belum memiliki akses ke layanan keuangan formal karena masalah legalitas usaha mereka. Hal ini memaksa pelaku UMKM mengandalkan rentenir dengan bunga tinggi yang berisiko mengancam kelangsungan usaha mereka,” ungkap Fahira.

Kedua, UMKM di Indonesia masih menghadapi kendala dalam adopsi digitalisasi. Meskipun transformasi digital sangat penting untuk keberlanjutan usaha, hanya sekitar 25 persen UMKM yang memiliki akses ke ekosistem digital yang memadai.

Ketiga, kontribusi UMKM terhadap ekspor Indonesia masih sangat minim. Dengan angka hanya mencapai 15 persen, kontribusi ini jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 17,3 persen dan Thailand dengan 28,7 persen. Fahira menilai, rendahnya kapasitas produksi, kesulitan dalam mengakses mitra internasional, serta kualitas produk yang belum memenuhi standar ekspor menjadi faktor utama penyebabnya.

Selain itu, Fahira juga mengidentifikasi tiga hambatan utama yang dihadapi pelaku UMKM di 2024. Pertama, banyak pelaku UMKM kesulitan beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen di dunia digital. Kedua, ketidakmampuan mengelola kredit dan kurangnya riset pasar menyebabkan banyak produk UMKM gagal. Ketiga, persaingan dan inovasi yang terbatas, karena kurangnya pelatihan dan pendampingan, membuat UMKM kesulitan menciptakan diferensiasi produk yang dapat bersaing di pasar.

Fahira berharap pemerintah dan pihak terkait akan segera melakukan terobosan pada 2025 untuk mengatasi masalah-masalah ini. “Salah satu langkah yang perlu diambil adalah memperluas skema pembiayaan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pembiayaan ultramikro, dengan mempermudah persyaratan administrasi. Selain itu, perlu peningkatan infrastruktur internet di daerah terpencil dan penguatan program literasi digital yang melibatkan lebih banyak akademisi dan praktisi bisnis sebagai mentor,” jelasnya.

Fahira juga mendorong kolaborasi antara UMKM dan industri besar untuk memperkuat rantai pasok, serta memberikan pelatihan sertifikasi ekspor dan akses ke pasar internasional. Menurutnya, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat perlu bersinergi menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi, daya saing, dan inklusi keuangan bagi UMKM. “UMKM bukan hanya menjadi fondasi ekonomi Indonesia, tetapi juga kunci untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045,” tutupnya.