Heboh “Salju Palsu” di China, Destinasi Wisata Ditutup Sementara

Sebuah destinasi wisata bertema “desa salju” di Chengdu, Provinsi Sichuan, China, terpaksa ditutup sementara setelah para pengunjung menyadari bahwa hamparan putih yang mereka lihat bukanlah salju asli, melainkan campuran kapas dan air sabun. Kejadian ini memicu kekecewaan dan kritik tajam dari wisatawan yang merasa tertipu.

Pihak pengelola Desa Salju Chengdu akhirnya mengeluarkan permintaan maaf melalui media sosial setelah protes bermunculan. Dalam pernyataan resminya, mereka mengakui bahwa penggunaan salju buatan merupakan upaya terakhir akibat suhu yang lebih hangat dari perkiraan.

“Kami sangat menyesal karena hasil yang diperoleh tidak sesuai ekspektasi, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pengunjung,” tulis pihak pengelola dalam pernyataan resminya.

Pengunjung Kecewa, Atraksi Wisata Ditutup Sementara

Para wisatawan yang datang dengan harapan menikmati suasana musim dingin yang autentik justru dikejutkan oleh salju buatan yang terbuat dari kapas dan busa sabun. Beberapa pengunjung membagikan pengalaman mereka di media sosial, mengungkapkan rasa kecewa karena merasa telah ditipu oleh promosi yang tidak sesuai realita.

Akibat gelombang kritik yang semakin meluas, pihak pengelola akhirnya memutuskan untuk menutup atraksi wisata tersebut sementara waktu. Mereka berjanji akan mencari solusi terbaik untuk memastikan pengalaman yang lebih memuaskan bagi wisatawan sebelum mempertimbangkan untuk membuka kembali lokasi tersebut.

Fenomena “Salju Palsu” dan Isu Transparansi Wisata

Insiden ini memicu diskusi hangat di dunia maya, terutama mengenai kejujuran dalam promosi destinasi wisata. Banyak warganet menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan tempat wisata, terutama yang bergantung pada kondisi alam.

Beberapa pengguna media sosial mengingatkan bahwa wisatawan harus lebih berhati-hati terhadap iklan yang berlebihan, sementara yang lain menyarankan agar pengelola tempat wisata lebih jujur dalam menyampaikan kondisi sebenarnya, sehingga pengunjung tidak merasa kecewa setelah tiba di lokasi.

Pejabat setempat kini tengah mengevaluasi langkah selanjutnya, termasuk kemungkinan mencari metode yang lebih realistis untuk menciptakan pengalaman wisata musim dingin tanpa menyesatkan pengunjung.

Dengan kasus ini, pertanyaan pun muncul: Haruskah wisata bertema musim dingin tetap dipaksakan meski cuaca tidak mendukung, atau lebih baik mencari konsep lain yang lebih sesuai dengan kondisi alam?