Zelensky Menyatakan Pemilu Ukraina Tetap Tertunda Walau Ada Gencatan Senjata

Penasihat Presiden Ukraina, Mikhail Podoliak, menegaskan bahwa Ukraina akan terus mempertahankan status darurat militer dan tidak akan mengadakan pemilihan presiden, meskipun gencatan senjata dengan Rusia tercapai. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara dengan surat kabar Italia la Repubblica pada Jumat lalu, di mana ia menegaskan bahwa Ukraina akan tetap fokus pada keamanan dan stabilitas negara meskipun ada perubahan dalam dinamika konflik.

Darurat militer di Ukraina telah diberlakukan sejak Februari 2022, menyusul eskalasi konflik dengan Rusia. Masa jabatan Presiden Volodymyr Zelensky secara resmi akan berakhir pada Mei 2024. Namun, Zelensky menolak untuk menyelenggarakan pemilu dalam situasi darurat, memicu perdebatan mengenai keabsahan pemerintahan saat ini. Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra, dengan sebagian pihak menganggapnya sebagai langkah yang melanggar prinsip demokrasi, sementara yang lainnya mendukungnya demi keamanan negara.

Sementara itu, Amerika Serikat telah berusaha untuk memediasi perdamaian dalam konflik ini sejak masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Baru-baru ini, AS mengusulkan gencatan senjata sementara selama 30 hari sebagai bagian dari upaya mencapai kesepakatan damai. Ukraina sendiri menyatakan kesiapan untuk melaksanakan gencatan senjata tersebut, dengan syarat persetujuan dari pihak Rusia.

Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin memberikan tanggapan positif terhadap ide gencatan senjata, meskipun ia menyebutkan beberapa masalah yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa isu-isu tersebut kemungkinan akan dibahas lebih lanjut dengan Washington dalam pertemuan mendatang.

Podoliak menekankan bahwa meskipun gencatan senjata sementara bisa dilakukan, hal itu tidak berarti berakhirnya konflik. Menurutnya, Ukraina harus tetap mempertahankan kapasitas untuk bertempur sampai situasi benar-benar terkendali. Ia menambahkan bahwa gencatan senjata 30 hari tidak akan membuka jalan bagi pelaksanaan pemilu.

Pada bulan Januari, Putin sempat mengkritik keabsahan pemerintahan Zelensky, dengan menyatakan bahwa hal tersebut bisa membatalkan perjanjian apapun yang melibatkan pemerintahannya. Zelensky juga telah mengeluarkan undang-undang yang melarang negosiasi langsung dengan pimpinan Rusia, yang semakin memperburuk ketegangan di antara kedua negara.

Pemerintahan Trump, yang mulai membangun kembali kontak dengan Rusia, berusaha untuk mendorong Kiev mencari solusi atas permusuhan ini. Pada Februari lalu, Kremlin mengungkapkan kesiapan Putin untuk bernegosiasi dengan Zelensky, meskipun dengan catatan perlunya membahas masalah hukum terkait dengan legitimasi Zelensky sebagai kepala negara.

Ketegangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada usulan gencatan senjata, jalan menuju perdamaian masih terjal dan penuh dengan hambatan politik, hukum, dan militer. Konflik ini terus menjadi ujian besar bagi stabilitas kawasan serta hubungan internasional antara Rusia, Ukraina, dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

ICC Seret Rodrigo Duterte, Efektivitas Pengadilan Kembali Dipertanyakan

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) kembali menjadi sorotan setelah mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, ditangkap di Manila pada Selasa (11/3/2025). Penangkapan ini dianggap sebagai pencapaian besar bagi ICC, tetapi juga menyoroti keterbatasan lembaga tersebut dalam menegakkan hukum secara global.

Keterbatasan ICC dalam Menegakkan Yurisdiksi

Meskipun ICC memiliki cakupan yurisdiksi yang luas, pengadilan ini tidak memiliki kekuatan untuk melakukan penangkapan sendiri. Sebaliknya, mereka bergantung sepenuhnya pada kerja sama pemerintah nasional dalam mengeksekusi surat perintah penangkapan yang mereka keluarkan.

Hal ini menyebabkan efektivitas ICC sangat bergantung pada dinamika politik domestik di masing-masing negara. Beberapa pemimpin dunia yang didakwa atas kejahatan kemanusiaan atau kejahatan perang tetap bebas di negara mereka sendiri, meskipun telah ada surat perintah penangkapan.

Contohnya, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

  • Putin dituduh melakukan kejahatan perang di Ukraina,
  • Sementara Netanyahu menghadapi tuduhan kejahatan perang di Palestina.

Namun, baik Putin maupun Netanyahu masih memiliki pengaruh politik dan kekuatan besar di negara masing-masing, sehingga aparat penegak hukum setempat tidak berani atau enggan menindaklanjuti perintah ICC.

Sebaliknya, Duterte yang sudah tidak lagi menjabat dan kehilangan kekuatan politiknya, menjadi lebih rentan terhadap tindakan hukum ini. Hal ini menunjukkan bahwa surat perintah ICC lebih efektif terhadap mantan pemimpin yang kekuasaannya telah melemah, dibandingkan dengan mereka yang masih berkuasa.

Wewenang ICC di Atas Kertas vs. Realitas di Lapangan

Secara teori, ICC memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi siapa pun yang diduga terlibat dalam kejahatan yang tercantum dalam Statuta Roma. Yurisdiksi mereka mencakup:

  • Warga negara anggota ICC
  • Individu yang melakukan kejahatan di wilayah negara anggota

Namun dalam praktiknya, ICC tidak memiliki mekanisme kuat untuk menangkap pemimpin yang masih menjabat atau mereka yang dilindungi oleh rezimnya sendiri.

Kate Cronin Furman, seorang akademisi dari University College London yang meneliti kejahatan massal dan akuntabilitas hukum, menilai bahwa ICC menghadapi tantangan besar dalam melawan kepentingan politik yang sudah mengakar.

“Kita tidak bisa berharap lembaga ini mampu secara langsung melawan struktur kekuasaan yang ada. Namun, yang bisa kita harapkan adalah perubahan kecil yang perlahan menggeser dunia ke arah yang lebih adil,” ujar Furman.

Masa Depan ICC: Menuju Sistem Hukum yang Lebih Efektif?

Penangkapan Duterte menjadi contoh bahwa keadilan internasional tetap bisa berjalan, meskipun dengan berbagai keterbatasan. Ke depan, ICC perlu membangun dukungan internasional yang lebih kuat dan mendorong kerja sama lebih luas dari negara-negara anggota agar bisa menindaklanjuti kasus-kasus kejahatan internasional dengan lebih efektif.

Namun, tanpa kemauan politik global yang lebih besar, ICC akan terus menghadapi kendala dalam menegakkan hukum terhadap pemimpin yang masih berkuasa dan memiliki pengaruh politik besar.

Zelenskyy Tegaskan Hak Eksklusif Bernegosiasi di Tengah Desakan AS dan Rusia!

Di tengah tekanan pemerintahan baru Amerika Serikat dan tuntutan untuk membuka jalur dialog dengan Rusia, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menegaskan bahwa dirinya tidak terikat oleh undang-undang Ukraina yang melarang negosiasi dengan Rusia.

Presiden Rusia Vladimir Putin sebelumnya menyatakan bahwa negosiasi antara Kiev dan Moskow dalam kondisi saat ini akan dianggap tidak sah jika larangan legislatif di Ukraina tetap berlaku. Putin mendesak pihak-pihak yang mendukung pemerintahan Kiev untuk memaksa Zelenskyy mencabut aturan tersebut.

Dalam konferensi pers di Kiev, Zelenskyy mengungkapkan bahwa sebelum dirinya memberlakukan larangan negosiasi, berbagai pihak, termasuk Rusia, kekuatan politik lokal, serta perwakilan AS dan Inggris, telah mencoba memulai dialog damai. Namun, ia menganggap upaya tersebut sebagai “separatisme” yang harus dihentikan.

“Saya menghentikan semua jalur negosiasi bayangan. Saya menghentikan separatisme di negara ini. Saya melarang siapa pun di Ukraina, baik tokoh politik maupun perwakilan lain, untuk melakukan negosiasi dengan Rusia,” ujar Zelenskyy dengan tegas.

Zelenskyy juga menyatakan bahwa hanya dirinya yang memiliki kewenangan untuk mengadakan negosiasi resmi. Pernyataan ini disampaikan setelah Presiden AS Donald Trump mengklaim bahwa Zelenskyy telah bersedia untuk membuka dialog dengan Rusia.

Meski demikian, dekrit Zelenskyy yang diterbitkan pada 30 September 2022, serta keputusan Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina, hanya menegaskan larangan negosiasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Tidak ada rincian dalam dokumen tersebut mengenai siapa yang memiliki wewenang resmi untuk bernegosiasi dari pihak Ukraina.

Putin sendiri telah menyampaikan serangkaian syarat untuk penyelesaian konflik secara damai, termasuk penghentian operasi militer Ukraina di wilayah yang diklaim Rusia, pembatalan rencana bergabung dengan NATO, demiliterisasi, denazifikasi, dan deklarasi status netral. Ia juga menekankan pentingnya pencabutan sanksi internasional terhadap Rusia sebagai bagian dari proses perdamaian.

Namun, Kiev tetap mempertahankan larangan legislatif untuk membuka dialog dengan Moskow, sementara negara-negara Barat terus mengabaikan pendekatan diplomasi yang diajukan Rusia. Kremlin menyatakan bahwa saat ini tidak ada kondisi yang memungkinkan tercapainya resolusi damai, dengan prioritas utama Rusia tetap pada pencapaian tujuan militernya melalui operasi khusus.

Putin Siap Bahas Pelucutan Nuklir dengan Trump, Moskow Tekankan Keterlibatan Inggris dan Prancis

Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyatakan kesiapannya untuk berdialog dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait berbagai isu global, termasuk pelucutan senjata nuklir. Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, pada Jumat.

“Presiden Putin siap. Kami hanya menunggu sinyal dari Washington. Segala sesuatu telah disiapkan. Jika ada perkembangan lebih lanjut, kami akan segera memberi tahu Anda,” ujar Peskov di Moskow.

Peskov menjelaskan bahwa Rusia bersedia memulai negosiasi denuklirisasi, tetapi menegaskan perlunya memasukkan kemampuan nuklir negara-negara sekutu AS seperti Inggris dan Prancis dalam perhitungan. Menurutnya, dialog harus mempertimbangkan seluruh kapasitas nuklir yang ada demi stabilitas global dan hubungan bilateral yang lebih baik.

“Semua kekuatan nuklir, termasuk milik Inggris dan Prancis, harus masuk dalam pembahasan. Tidak mungkin mengabaikan potensi mereka,” tambah Peskov.

Dia juga menyatakan kekecewaannya karena banyak waktu terbuang dalam upaya denuklirisasi akibat keputusan AS menghentikan kontak dengan Rusia terkait isu tersebut. Menurutnya, kerangka hukum internasional mengenai pengendalian senjata telah runtuh karena penarikan diri AS dari berbagai perjanjian penting.

Sementara itu, menanggapi komentar Trump yang menyebut penurunan harga minyak dapat mengakhiri konflik di Ukraina, Peskov membantahnya. Ia menegaskan bahwa konflik tersebut berakar pada ancaman terhadap keamanan nasional Rusia, bukan masalah ekonomi.

“Konflik ini tidak terkait dengan harga minyak. Ini tentang keselamatan warga Rusia di wilayah tertentu dan kurangnya tanggapan AS serta Eropa terhadap kekhawatiran Rusia,” ujar Peskov.

Ia juga merespons laporan media yang mengklaim Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, siap berunding dengan Rusia. Menurut Peskov, klaim tersebut tidak memiliki dasar karena Zelenskyy telah secara hukum melarang negosiasi dengan Moskow.