Milisi Anti-Junta Kuasai Wilayah, Tentara Myanmar Kabur ke Thailand

Situasi di perbatasan Myanmar-Thailand kembali memanas setelah pasukan militer Myanmar terpaksa melarikan diri ke wilayah Thailand akibat serangan besar-besaran dari kelompok milisi Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA). Insiden ini terjadi pada Jumat (13/3) dini hari, ketika markas militer Myanmar di daerah Pulu To diserbu oleh kelompok bersenjata etnis yang menentang junta.

Serangan Milisi dan Pelarian Tentara Myanmar

Menurut laporan dari militer Thailand, pasukan Myanmar sempat melakukan perlawanan untuk mempertahankan posisi mereka. Namun, gempuran intens dari KNLA akhirnya membuat mereka kewalahan dan terpaksa meninggalkan markas tersebut.

“Militer Myanmar berusaha mempertahankan markas mereka tetapi pada akhirnya dapat dikuasai oleh pasukan KNLA,” demikian pernyataan resmi dari pihak militer Thailand yang dikutip oleh AFP.

Akibat serangan ini, beberapa tentara Myanmar tewas, sementara sejumlah lainnya melarikan diri ke perbatasan Thailand demi menyelamatkan diri. Hingga saat ini, militer Thailand belum mengungkapkan jumlah pasti tentara Myanmar yang melintas ke wilayah mereka, tetapi mereka menyatakan telah memberikan bantuan kemanusiaan bagi para prajurit yang kabur.

Senjata dan Peralatan Tempur Ditinggalkan

Serangan yang dilakukan KNLA ini menjadi salah satu yang terbesar dalam beberapa waktu terakhir. Menurut pernyataan dari Persatuan Nasional Karen, kelompok ini mulai menyerang markas militer Myanmar sejak pukul 03.00 waktu setempat dengan persenjataan berat.

“Pasukan Myanmar akhirnya meninggalkan markas mereka beserta sejumlah senjata dan peralatan tempur yang kini dikuasai oleh KNLA,” ujar juru bicara Persatuan Nasional Karen.

Serangan ini menunjukkan semakin meningkatnya tekanan terhadap junta militer Myanmar, yang sejak kudeta pada 2021 terus menghadapi perlawanan dari berbagai kelompok bersenjata etnis di dalam negeri.

Pihak Junta Masih Bungkam

Hingga berita ini ditulis, pihak junta militer Myanmar belum memberikan tanggapan resmi terkait kabar pasukan mereka yang melarikan diri ke Thailand. Upaya yang dilakukan AFP untuk meminta konfirmasi dari mereka juga belum mendapatkan respons.

Sementara itu, ketegangan di perbatasan Myanmar-Thailand diperkirakan akan terus meningkat, terutama jika kelompok milisi etnis semakin gencar melancarkan serangan terhadap pasukan junta.

Insiden ini menambah daftar panjang konflik bersenjata yang terjadi di Myanmar sejak kudeta militer, di mana perlawanan dari kelompok etnis dan pro-demokrasi semakin kuat. Situasi ini juga berpotensi memengaruhi stabilitas di kawasan, terutama bagi negara-negara tetangga seperti Thailand yang kini ikut terdampak akibat pelarian tentara Myanmar ke wilayah mereka.

Thailand Resmi Legalkan Pernikahan Sesama Jenis, Ratusan Pasangan Rayakan Momen Bersejarah

Thailand mencatat sejarah baru dengan diberlakukannya undang-undang pernikahan sesama jenis yang mulai berlaku pada 23 Januari. Ratusan pasangan LGBTQ+ memanfaatkan kesempatan ini untuk melangsungkan pernikahan mereka secara resmi, menjadikan Thailand sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang mengakui pernikahan sesama jenis.

Undang-undang ini disahkan oleh parlemen Thailand pada September 2024 dan mendapatkan persetujuan dari Raja Maha Vajiralongkorn. Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pasangan sesama jenis kini memiliki hak yang sama dengan pasangan heteroseksual, termasuk hak adopsi dan warisan. Ini menunjukkan kemajuan signifikan dalam pengakuan hak-hak LGBTQ+ di kawasan Asia Tenggara.

Pada hari pertama berlakunya undang-undang tersebut, ratusan pasangan berkumpul di pusat perbelanjaan Siam Paragon di Bangkok untuk merayakan pernikahan massal. Acara ini diselenggarakan oleh kelompok kampanye Bangkok Pride dan pemerintah setempat, dengan harapan dapat mendaftarkan sebanyak mungkin pasangan dalam satu hari. Ini mencerminkan semangat komunitas LGBTQ+ yang ingin merayakan momen bersejarah ini bersama-sama.

Salah satu pasangan yang menikah, Apiwat “Porsch” Apiwatsayree dan Sappanyoo “Arm” Panatkool, mengungkapkan kebahagiaan mereka setelah bertahun-tahun memperjuangkan hak untuk menikah. Mereka merasa bahwa hari ini adalah puncak dari perjuangan mereka dan menegaskan bahwa cinta harus dihargai tanpa memandang jenis kelamin. Ini menunjukkan betapa pentingnya pengakuan hukum bagi pasangan LGBTQ+ dalam membangun keluarga mereka.

Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menyatakan bahwa undang-undang ini menandai langkah maju dalam kesadaran masyarakat mengenai keberagaman gender dan penerimaan terhadap semua orang. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi semua warga negara, terlepas dari orientasi seksual mereka.

Dengan diberlakukannya undang-undang pernikahan sesama jenis, Thailand membuka jalan bagi perubahan sosial yang lebih besar di kawasan Asia Tenggara. Diharapkan bahwa langkah ini tidak hanya akan meningkatkan hak-hak LGBTQ+ tetapi juga mendorong negara-negara lain untuk mengikuti jejak Thailand dalam mengakui pernikahan sesama jenis. Keberhasilan ini menjadi simbol harapan bagi banyak orang yang memperjuangkan kesetaraan dan pengakuan hak asasi manusia di seluruh dunia.