Putin Siap Bahas Pelucutan Nuklir dengan Trump, Moskow Tekankan Keterlibatan Inggris dan Prancis

Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyatakan kesiapannya untuk berdialog dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait berbagai isu global, termasuk pelucutan senjata nuklir. Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, pada Jumat.

“Presiden Putin siap. Kami hanya menunggu sinyal dari Washington. Segala sesuatu telah disiapkan. Jika ada perkembangan lebih lanjut, kami akan segera memberi tahu Anda,” ujar Peskov di Moskow.

Peskov menjelaskan bahwa Rusia bersedia memulai negosiasi denuklirisasi, tetapi menegaskan perlunya memasukkan kemampuan nuklir negara-negara sekutu AS seperti Inggris dan Prancis dalam perhitungan. Menurutnya, dialog harus mempertimbangkan seluruh kapasitas nuklir yang ada demi stabilitas global dan hubungan bilateral yang lebih baik.

“Semua kekuatan nuklir, termasuk milik Inggris dan Prancis, harus masuk dalam pembahasan. Tidak mungkin mengabaikan potensi mereka,” tambah Peskov.

Dia juga menyatakan kekecewaannya karena banyak waktu terbuang dalam upaya denuklirisasi akibat keputusan AS menghentikan kontak dengan Rusia terkait isu tersebut. Menurutnya, kerangka hukum internasional mengenai pengendalian senjata telah runtuh karena penarikan diri AS dari berbagai perjanjian penting.

Sementara itu, menanggapi komentar Trump yang menyebut penurunan harga minyak dapat mengakhiri konflik di Ukraina, Peskov membantahnya. Ia menegaskan bahwa konflik tersebut berakar pada ancaman terhadap keamanan nasional Rusia, bukan masalah ekonomi.

“Konflik ini tidak terkait dengan harga minyak. Ini tentang keselamatan warga Rusia di wilayah tertentu dan kurangnya tanggapan AS serta Eropa terhadap kekhawatiran Rusia,” ujar Peskov.

Ia juga merespons laporan media yang mengklaim Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, siap berunding dengan Rusia. Menurut Peskov, klaim tersebut tidak memiliki dasar karena Zelenskyy telah secara hukum melarang negosiasi dengan Moskow.

Jerman Dan Prancis Berikan Peringatan Keras Kepada Trump Terkait Greenland

Jerman dan Prancis secara resmi memberikan peringatan kepada Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, terkait keinginannya untuk menguasai Greenland. Pernyataan ini muncul setelah Trump mengisyaratkan kemungkinan menggunakan kekuatan militer atau ekonomi untuk merebut pulau tersebut, yang merupakan wilayah otonomi Denmark.

Kanselir Jerman, Olaf Scholz, menegaskan bahwa perbatasan negara tidak boleh diubah dengan kekerasan. Dalam sebuah konferensi pers, Scholz menyatakan bahwa prinsip kedaulatan wilayah harus dihormati oleh semua negara, terlepas dari kekuatan yang dimiliki. Ini menunjukkan bahwa Jerman berkomitmen untuk mempertahankan norma-norma internasional yang melindungi integritas wilayah negara lain.

Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noël Barrot, juga mengkritik pernyataan Trump dan menekankan bahwa Uni Eropa tidak akan membiarkan negara mana pun menyerang kedaulatan perbatasan anggotanya. Barrot menyatakan keyakinannya bahwa meskipun tidak percaya AS akan melakukan invasi ke Greenland, ancaman semacam itu tidak dapat ditoleransi. Ini mencerminkan solidaritas Eropa dalam menghadapi potensi ancaman terhadap kedaulatan negara-negara anggota.

Peringatan dari kedua negara tersebut menciptakan kekhawatiran akan kemungkinan meningkatnya ketegangan internasional. Jika Trump melanjutkan rencananya untuk mengambil alih Greenland dengan cara yang agresif, hal ini dapat memicu konflik baru di kawasan Arktik. Ini menunjukkan betapa pentingnya diplomasi dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di tingkat global.

Keinginan Trump untuk membeli Greenland bukanlah hal baru; ia pernah mengajukan tawaran serupa pada tahun 2019, yang ditolak oleh pemerintah Denmark. Meskipun Denmark adalah sekutu dekat AS dalam NATO, penolakan tersebut menunjukkan bahwa masalah ini sensitif dan dapat menimbulkan ketegangan antara kedua negara. Ini menunjukkan bahwa hubungan internasional sering kali dipengaruhi oleh sejarah dan konteks politik yang lebih luas.

Pemimpin Greenland, Mute Egede, telah menegaskan bahwa pulau tersebut adalah milik rakyat Greenland dan hanya mereka yang berhak menentukan masa depannya. Pernyataan ini menyoroti pentingnya suara lokal dalam keputusan yang berkaitan dengan wilayah mereka sendiri. Ini mencerminkan bahwa otonomi dan hak penentuan nasib sendiri adalah prinsip-prinsip fundamental dalam hubungan internasional.

Dengan peringatan dari Jerman dan Prancis, semua pihak kini diajak untuk merenungkan pentingnya menghormati kedaulatan wilayah dalam konteks global. Tindakan agresif terhadap negara lain tidak hanya berisiko memicu konflik tetapi juga dapat merusak hubungan diplomatik yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Melalui dialog dan diplomasi, diharapkan ketegangan ini dapat dikelola dengan baik demi menjaga perdamaian dunia.