Sisi Undang Trump ke Mesir, Bahas Krisis Timur Tengah dan Peresmian Museum Baru

Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengundang mantan Presiden AS Donald Trump untuk mengunjungi Mesir guna membahas krisis yang sedang berlangsung di Timur Tengah serta mempererat hubungan strategis kedua negara. Undangan ini disampaikan dalam percakapan telepon antara keduanya, sebagaimana diumumkan oleh kantor kepresidenan Mesir pada Sabtu (1/2).

Dalam perbincangan tersebut, Sisi mengucapkan selamat kepada Trump atas terpilihnya kembali sebagai Presiden AS, menyoroti kepercayaan besar yang diberikan rakyat Amerika terhadap kepemimpinannya. Sisi berharap kunjungan Trump ke Mesir dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat kerja sama bilateral, terutama dalam menghadapi tantangan geopolitik di kawasan.

Selain membahas isu strategis, Sisi juga mengundang Trump untuk menghadiri peresmian Grand Egyptian Museum, sebuah proyek ambisius yang akan menampilkan berbagai artefak bersejarah Mesir. Meski belum ada tanggal resmi, laporan media lokal menyebutkan bahwa peresmian museum tersebut kemungkinan berlangsung pada 3 Juli dengan serangkaian acara perayaan.

Sebagai bentuk timbal balik, Trump turut mengundang Sisi untuk melakukan kunjungan resmi ke Washington dan bertemu dengannya di Gedung Putih. Kedua pemimpin berdiskusi mengenai berbagai aspek kerja sama, termasuk keamanan regional, investasi ekonomi, serta pengelolaan sumber daya air.

Percakapan tersebut juga membahas implementasi perjanjian gencatan senjata Gaza serta pentingnya mencapai solusi damai di Timur Tengah. Mesir dan Yordania tetap menolak gagasan pemindahan warga Palestina dari Gaza, meskipun Trump sebelumnya menyatakan bahwa kedua negara akan mendukung rencana tersebut.

PBB Prihatin Atas Kebijakan Trump yang Menangguhkan Bantuan Luar Negeri

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kebijakan terbaru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait penangguhan bantuan luar negeri. Dalam konferensi pers yang disampaikan oleh juru bicaranya, Stephane Dujarric, Guterres menekankan pentingnya bantuan Amerika Serikat dalam mendukung masyarakat rentan di berbagai belahan dunia.

Keputusan ini, menurut Guterres, berpotensi mengganggu jalannya program-program kemanusiaan dan pembangunan yang menjadi sandaran utama bagi banyak komunitas yang hidup dalam kondisi sulit. Dujarric mengungkapkan bahwa PBB sangat berharap adanya pengecualian tambahan untuk memastikan kelanjutan bantuan krusial ini, terutama bagi mereka yang mata pencahariannya sangat bergantung pada dukungan tersebut.

Sebagai salah satu donor terbesar di dunia, Amerika Serikat memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas global. Oleh karena itu, Guterres menyerukan kerja sama yang erat dengan pemerintahan Trump untuk mengatasi berbagai tantangan internasional. Sekjen PBB menekankan pentingnya dialog konstruktif agar program bantuan luar negeri dapat terus berjalan tanpa hambatan.

Kebijakan penangguhan ini merupakan bagian dari perintah eksekutif yang dikeluarkan Trump, yang memerintahkan evaluasi selama 90 hari terhadap pengeluaran bantuan luar negeri guna memastikan kesesuaiannya dengan prioritas kebijakan luar negeri AS. Meskipun beberapa negara seperti Israel dan Mesir dikecualikan dari kebijakan ini, sekutu utama lainnya, termasuk Ukraina, Yordania, dan Taiwan, turut terkena dampaknya.

Langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran besar, terutama di tengah krisis global yang memerlukan solidaritas dan dukungan bersama. Guterres menegaskan bahwa keberlanjutan bantuan ini sangat penting bagi jutaan individu yang menghadapi tantangan hidup berat setiap harinya.