Mantan Presiden dan Ormas Keagamaan Akan Terlibat dalam Pengawasan Danantara

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengungkapkan bahwa organisasi masyarakat (ormas) keagamaan serta mantan Presiden Republik Indonesia akan dilibatkan sebagai penasihat dan pengawas Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Saat tiba di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin, ia menanggapi pertanyaan mengenai peran ormas dalam pengawasan Danantara dengan menyebut bahwa mereka kemungkinan akan berperan sebagai penasihat.

Selain itu, Hasan juga menyinggung kemungkinan mantan Presiden RI menjadi bagian dari dewan penasihat Danantara. Ia menjelaskan bahwa hal ini merupakan gagasan Presiden dan bertujuan untuk memperkuat tata kelola lembaga tersebut. Meski tidak menyebutkan nama mantan Presiden yang akan terlibat, ia menegaskan bahwa partisipasi mereka diperlukan demi memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan investasi negara.

Danantara dibentuk sebagai sovereign wealth fund (SWF) milik Indonesia, yang harus mengedepankan prinsip akuntabilitas serta transparansi sesuai dengan Santiago Principle, sebuah pedoman internasional dalam tata kelola SWF yang baik. Oleh karena itu, pelibatan tokoh-tokoh bangsa yang memiliki integritas tinggi dinilai penting dalam menjaga kredibilitas lembaga ini.

Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan bahwa mantan Presiden Indonesia hingga pemimpin organisasi keagamaan akan diminta untuk mengawasi pengelolaan BPI Danantara. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-17 Partai Gerindra di Sentul, Jawa Barat, ia menekankan bahwa Danantara merupakan aset strategis bagi masa depan bangsa dan harus dijaga bersama. Ia juga mengusulkan agar pimpinan ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, serta Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) turut berperan dalam pengawasan dana kekayaan negara ini.

Indonesia dan Turki Sepakati Peningkatan Perdagangan hingga USD 10 Miliar! Ini Rinciannya

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyepakati peningkatan target perdagangan tahunan antara kedua negara menjadi USD 10 miliar (sekitar Rp161,1 triliun). Kesepakatan ini diumumkan dalam acara Indonesia-Turkiye Business Forum yang digelar di Jakarta.

Menteri Perdagangan Turki, Omer Bolat, mengungkapkan bahwa target perdagangan yang lebih tinggi ini ditetapkan karena nilai perdagangan antara Indonesia dan Turki masih tergolong rendah, meskipun keduanya memiliki ekonomi yang besar.

Ia mencatat bahwa pendapatan nasional Turki mencapai USD 1,3 triliun (Rp20.943 triliun), sementara Indonesia memiliki pendapatan nasional USD 1,4 triliun (Rp22.544 triliun). Adapun total perdagangan luar negeri Turki dalam sektor barang mencapai USD 606 miliar (Rp9.762 triliun), sedangkan di sektor jasa mencapai USD 175 miliar (Rp2.819 triliun).

Namun, volume perdagangan bilateral antara kedua negara masih berada di angka USD 3 miliar (Rp48,3 triliun), yang dinilai masih jauh dari potensi maksimal kemitraan kedua negara.

Selain peningkatan perdagangan, pertemuan bilateral ini menghasilkan 13 kesepakatan kerja sama yang ditandatangani oleh para pejabat tinggi dari kedua negara. Kesepakatan tersebut mencakup berbagai sektor, mulai dari diplomasi, pertahanan, pertanian, industri, perdagangan, energi, keagamaan, hingga kebudayaan.

Dalam pertemuan yang berlangsung di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, para pemimpin negara dan menteri terkait membahas proyek-proyek strategis yang akan memperkuat hubungan bilateral.

“InshaAllah, semua 12 kesepakatan dan proyek yang telah dibahas hari ini akan memberikan kontribusi besar bagi hubungan yang lebih erat dan berkembang antara kedua negara sahabat ini,” ujar Menteri Bolat.

Menteri Bolat menegaskan bahwa hubungan antara Indonesia dan Turki memiliki akar sejarah yang kuat, kedekatan budaya, serta komitmen bersama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masing-masing. Ia juga menyoroti bahwa kesepakatan dan pertemuan tingkat tinggi ini menjadi bukti nyata dari kerja sama erat antara kedua negara.

“Dalam semangat persaudaraan inilah kami datang hari ini untuk menjajaki jalur baru dalam pertumbuhan ekonomi dan kerja sama bilateral,” tambahnya.

Kunjungan resmi Presiden Erdogan ke Indonesia berlangsung selama dua hari, yakni pada 11-12 Februari 2025. Selama kunjungan ini, kedua negara menggelar Dewan Kerja Sama Strategis Tingkat Tinggi (High-Level Strategic Cooperation Council – High Level SCC), sebuah forum bilateral tertinggi yang dipimpin langsung oleh kepala negara dari masing-masing pihak.

Melalui forum ini, Indonesia dan Turki terus memperkuat hubungan ekonomi, politik, dan sosial, yang diharapkan dapat memberikan manfaat besar bagi kedua negara dalam jangka panjang.