Penambahan Masa Reses DPD Picu Pertanyaan soal Efisiensi Anggaran Negara

Lembaga konsultan politik Meta Politik Indonesia mengingatkan bahwa masa reses Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus disesuaikan dengan masa reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.

Direktur Eksekutif Meta Politik Indonesia, Fachrul Razi, menyoroti potensi masalah hukum yang mungkin timbul jika masa reses DPD ditambah. Menurutnya, hal ini berdampak langsung pada penggunaan anggaran negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Implikasinya sangat serius terhadap anggaran, karena menyangkut pengelolaan keuangan negara yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Keuangan negara harus dikelola secara tertib, sesuai hukum, efisien, transparan, dan bertanggung jawab,” ujar Fachrul dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat.

Fachrul juga mengutip Pasal 3 Ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang melarang pengeluaran APBN atau APBD tanpa alokasi anggaran yang memadai.

Selain itu, ia mempertanyakan keselarasan tugas dan fungsi legislasi DPD apabila jadwal resesnya tidak sejalan dengan DPR. Hal ini berpotensi menghambat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR.

“UU MD3 sudah menetapkan bahwa masa reses DPD mengikuti DPR agar pembahasan RUU tetap selaras. Jangan sampai DPR sedang membahas RUU, sementara DPD berada dalam masa reses,” tegasnya.

Komentar Fachrul didasarkan pada adanya penambahan masa reses DPD dalam sidang periode 2024-2029, yang berbeda dari kebiasaan sebelumnya. Di masa jabatan 2019-2024, DPD hanya melaksanakan empat kali reses per tahun, sama dengan DPR. Namun, pada sidang tahun 2024-2025, DPD dijadwalkan mengadakan lima kali reses, dengan tambahan dua masa reses di bulan Oktober dan Desember 2024, serta tiga kali reses pada Februari, April, dan Juli 2025.

Fachrul, yang pernah menjadi anggota DPD selama dua periode (2014-2024), menilai bahwa penambahan jadwal reses ini merupakan hal baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

“Teman-teman di DPR juga merasa aneh melihat penambahan jadwal reses DPD pada tahun 2024 ini. Padahal sebelumnya jadwal reses selalu disamakan dengan DPR,” tuturnya.

Desakan Buka Kembali Pameran Yos Suprapto: Seni Harus Jadi Ruang Diskusi Publik

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Bonnie Triyana, meminta Galeri Nasional segera membuka kembali pameran tunggal karya seniman Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang mendadak dibatalkan pada Kamis (19/12/2024). Pembatalan ini diikuti dengan perintah penurunan lima lukisan yang memicu sorotan publik, menimbulkan gelombang kritik dan diskusi di berbagai lapisan masyarakat.

Bonnie menyoroti bahwa beberapa karya yang dipersoalkan justru telah tersebar luas di media sosial, sehingga tidak ada lagi alasan untuk menutup pameran. “Setelah diskusi ini menjadi perhatian publik, Galeri Nasional harus segera mengambil langkah untuk membukanya kembali. Jika malam ini atau besok pameran dibuka, antusiasme masyarakat akan besar. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk menjadi bangsa yang lebih terbuka dan dewasa dalam menyikapi seni,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Seni Sebagai Medium Kritik Kekuasaan” yang berlangsung di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/12/2024).

Menurut Bonnie, karya seni memiliki peran sebagai medium tafsir yang seharusnya dinikmati dan dikritisi oleh masyarakat secara bebas. “Biarkan masyarakat datang, melihat, dan menilai karya ini dengan pemahaman serta perspektif mereka sendiri. Dengan begitu, seni dapat menjadi ruang dialog dan refleksi yang produktif,” tambahnya.

Ia juga menilai langkah pemberedelan pameran sebagai tindakan yang mencederai kebebasan berekspresi. Bonnie menekankan bahwa seni adalah ruang kebebasan yang penting untuk menjaga dinamika intelektual dan budaya bangsa. “Pameran seni seperti ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga cara kita sebagai masyarakat belajar berdialog, memahami perbedaan, dan mengembangkan wawasan kritis. Penutupan mendadak justru merugikan proses ini,” tegasnya.

Lebih jauh, Bonnie mengingatkan bahwa langkah membuka kembali pameran tidak hanya akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berdiskusi, tetapi juga menjadi sinyal positif bahwa Indonesia mendukung seni sebagai elemen penting dalam demokrasi. “Dengan membiarkan pameran ini berjalan, kita menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang menghargai kebebasan berpikir dan berekspresi,” pungkasnya.

Pameran karya Yos Suprapto, yang bertujuan untuk menyuarakan pentingnya kedaulatan pangan melalui seni, diharapkan dapat kembali menjadi medium dialog antara seniman, pengamat seni, dan masyarakat luas.